BISMILLAHIRAHMANIRAHIM

Animasi

Selasa, 31 Januari 2012

Mengenang Kritisisme Mahasiswa

Manusia telah diajari bahwa kebajikan tertinggi bukanlah untuk mencapai sesuatu, melainkan untuk memberikan sesuatu (Ayn Rand). Mahasiswa selalu identik dengan kritisisme terutama ketika sejarah telah mencatatnya dalam membongkar kebobrokan rezim Seokarno dan Seoharto hingga menjatuhkannya. Di kandangnya sendiri (kampus) mahasiswa pun selalu tampak mengkritisi segala kebijakan dari pihak rektorat yang dianggap tak adil dan berbau KKN dan biasanya kritisisme mahasiswa mewujud dalam aksi protes dan demo. Di manapun sebenarnya gerakan mahasiswa dengan kritisismenya merupakan bagian dari gerakan Kiri Baru. Gerakan Kiri Baru diprakarsai oleh para mahasiswa dan kelompok terpelajar dalam masyarakat modern di Barat awal 1960-an. Aspirasi dasar dari gerakan ini adalah counter modernization. Gerakan kiri baru lahir karena ketegangan antara kapitalisme Amerika dan Marxisme Rusia pasca perang dunia II. Dalam pandangan Kiri Baru, kedua kekuatan tersebut sama-sama memliki kepentingan terhadap masyarakat dunia untuk mewujudkan sistem masyarakat sesuai dengan misi ideologis masing-masing, egoisme keduanya tersebutlah yang ditolak oleh Kiri Baru. Istilah Kiri Baru atau The New Left diperkenalkan kali pertama dalam majalah The New Left Review (1959) yang dikelola kelompok Marxis-Liberal. Nama tersebut diberikan oleh sosiolog Amerika, C. Wright Mills tahun 1958. Kiri Baru berlawanan dengan Kiri Lama, yaitu partai-partai komunis (Marxisme-Leninis) dan partai sosial demokrat di Barat. Kiri juga dipertentangkan dengan Kanan, yaitu mereka yang mempertahankan sistem dengan cara konservatif; dan ternyata orang-orang Kanan terdapat dalam kubu kapitalis maupun komunis. Sedangkan Kiri, menurut Mills adalah kritik terhadap struktur aktual masyarakat. Dalam pandangannya, menjadi Kiri berarti melibatkan diri dalam kritik politis, baik dalam hal tuntutan-tuntutan politis maupun program-program. Dari sisi kritiknya, Kiri Baru sangat antibirokrasi dan teknologi. Gerak kritik mereka pun beragam, mulai kritik terhadap konsumerisme, pola hidup borjuis modern, demokrasi semu, sampai gerak balik proses demokrasi itu sendiri (gerakan kembali ke alam). Gerakan ini sebagaimana awalnya terdiri dari kalangan terpelajar di kampus-kampus. M. Theodori membagi Kiri Baru menjadi tiga tahapan pergerakan, (1) ditandai dengan komitmen moral, keprihatinan individu, kesaksian pribadi akan perdamaian, kebebasan mimbar dan hak-hak sipil, (2) tahap gerakan sporadis tersebut menjadi gerakan kolektif berdasarkan cita-cita demokrasi partisipatoris dan diolah dalam program aksi massa, dan (3) tahap perjuangan mencari kekuasaan politis. Di samping itu James O'Brien menambahkan tahap keempat, yaitu tahap revolusioner sebagaimana gerakan antimilisi dan gerakan hitam bergerilya menentang pemeritah pada tahun 1968 s.d 1970-an di Amerika Serikat. Merujuk tahapan tersebut, maka gerakan Kiri Baru mahasiswa Indonesia pada setiap tahapnya sudah menunjukkan ketidaksinkronan. Pada tahap awal saja belum terlihat komitmen moral aktivis mahasiswa dalam memperjuangkan apa yang diyakininya sebagai kebenaran, mereka masih takut ancaman DO dari universitas. Terlebih pada mahasiswa awam, keprihatinan individu terhadap problem dan realitas sosial belum muncul, sebaliknya mereka justru terlena dengan borjuisme dan konsumerisme -suatu yang harus dilawan sebenarnya. Di kampus, perjuangan mereka juga belum sampai pada perwujudan mimbar bebas dan minim advokasi hak-hak mahasiswa. Melihat hal tersebut, bagaimana mungkin gerakan mahasiswa di Indonesia bisa diharapkan berperan lebih besar dalam pemberdayaan masyarakat dan kontrol pemerintah. Pada tahap penyatuan menjadi gerakan kolektif jelas hal tersebut bagaikan utopia belaka, karena bagaimanapun juga landasan, paradigma, orientasi, dan tujuan masing-masing individu berbeda -karena belum selesai pada tahap pertama- demikian juga pada level institusi. Contoh nyata adalah, antara PMII dan KAMMI apalagi Gema Pembebasan jelas berbeda -ini jika mengandaikan bahwa semua gerakan mahasiswa adalah gerakan Kiri Baru, karena beberapa persamaan di antara mereka. Perbedaan tersebutlah yang menjadikan mereka saling sikut dan mendahului terkadang dengan cara tidak fair (kotor) terutama pada level ketiga yaitu dalam perjuangan mencari kekuasaan politis. Inilah dilema gerakan mahasiswa pasca reformasi di Indonesia. Terlepas dari itu semua, Kiri Baru pada dasarnya merupakan perkembangan pemikiran Marxis di Barat, oleh karenanya mereka di dukung oleh teori-teori revolusioner dan gagasan mereka erat dengan pandangan-pandangan kiri Mazhab Frakfurt, terutama Herbert Marcuse dan Erich Fromm. Mereka menaruh harapan pada kelompok cendekiawan sebagai the agent of historical transformation. Itulah sebabnya mengapa mahasiswa sering dikatakan sebagai agent of social control dan social change serta oposisi permanen pemerintah. Di Barat radikalitas Kiri Baru mahasiswa dicirikan dengan, (1) ingin mengubah sistem universitas yang dalam pandangan mereka terkait sistem kaptalis modern yang manipulatif, mereka memprotes dosen liberal dan berbagai kegiatan kampus yang membawa style borjuis (party, festival, dan lainnya), (2) berhubungan dengan masyarakat sekitar yang diperjuangkan adalah pembebasan rakyat kecil yang menjadi korban struktur sosial yang tidak adil, dan (3) gerakan universal bagi kaum miskin tanpa memandang asal suku, agama, dan ras. Hal yang sama menjadi ciri gerakan mahasiswa di Indonesia, gerakan yang sampai ke masyarakat langsung lebih banyak didominasi oleh gerakan Kiri Baru dari NGO-NGO (Non Government Organization-Lembaga Swadaya Masyarakat [LSM]), lembaga independen lainnya, dan masyarakat kecil lainnya berbasis pada problem lokal. Di Indonesia hanya sedikit dari gerakan mahasiswa yang sudah menyentuh wilayah pembebasan rakyat kecil, paling banter mereka hanya sebatas memberikan sumbangan dan demo di jalan. Sedikit yang sudah terjun ke masyarakat, tetapi sayangnya merupakan organisasi underbow partai tertentu yang jelas mempunyai tujuan politis lebih besar. Rata-rata gerakan mahasiswa masih pada tahap menata kandangnya sendiri di kampus-kampus, ironisnya itu pun dengan setengah hati. Walaupun begitu sifat gerakan Kiri Baru tak hanya politis praktis, melainkan juga sosio-ekonomis. Pada tahun 1966 di Amerika gejala tersebut mewabah dalam bentuk the youth culture, counter culture, dan counter institution. Mereka menganggap bahwa kebudayaan modern telah membusukkan kemanusiaan melalui teknologisasi dan birokratisasi. Mereka cenderung setuju apa yang dikatakan oleh Jean Jacques Rousseau dengan semboyannya retournons a la nature (kembali ke alam/back to nature). Menuju keberhasilan perjuangannya, Nigel Young (1977) mensyaratkan lima kriteria, (1) melaksanakan aktivitas revolusioner terselubung dengan bersikap kritis terhadap norma dan definisi yang diberikan penguasa dan kelasnya. Mereka harus terus mencari kontra norma dan kontra definisi dari kenyataan sosial yang ada, (2) menempatkan perjuangan revolusioner ini pada kelompok masyarakat yang dilawan, (3) harus berkonfrontasi atas sistem nilai yang berlaku dengan mencari kontradiksinya dalam praktek hingga dapat membuka selubung kepentigan di baliknya, (4) harus menawarkan pengalaman hidup alternatif baik secara sosial maupun individual, dan (5) harus mengkonkretkan pandangan teoritis dan pengalaman hidup alternatif mereka dalam pranata dan proyek baru. Berdasar pada prasyarat tersebut, gerakan mahasiswa di Indonesia ternyata lebih bercirikan gerakan politis daripada ekonomi dan kultural. Beberapa aktivis yang mencoba merambah wilayah terakhir tersebut pun menemui kendala yang tidak sedikit, mulai dari lemahnya syahwat intelektual sampai minimnya pendanaan. Hal inilah yang menjadikan gerakan mahasiswa sebagai bagian gerakan Kiri Baru serasa tidak membumi dan belum mengena wilayah praksis masyarakat. Gerakan kultural Kiri Baru masih banyak yang sekadar wacana belaka. Sementara itu, Sargent (1981) mencoba mengidentifikasi gerakan Kiri Baru ini dalam tujuh nilai dasar, yaitu: (1) Praksis. Gerakan Kiri Baru lebih mementingkan praksis daripada teori. Pandangan ini dipengaruhi oleh Neo-Marxisme yang mengatakan bahwa praksis mendahului refleksi teoritis, dan praksis revolusioner harus diterangi teori. (2) Jati diri (authentic self), penakanan penemuan jati diri dalam gerakan ini dipengaruhi filsafat eksistensialisme yang dirintis Jean-Paul Sartre. Filsafat ini kritis terhadap norma dan mencanangkan kebebasan individu yang mendekati taraf absolut dengan mengutamakan kehendak individu. (3) Komunitas. mereka mengidamkan komunitas yang menjadi wahana interaksi secara efektif. Pemikiran tentang komunitas ini banyak diberikan oleh Erich Fromm setelah kritiknya terhadap modernitas sebagai masyarakat yang tak sehat. (4) Persamaan. Gagasan ini dipengaruhi pemikiran sosialis Marxis di Barat yang mengidealkan persamaan dalam pelbagai bidang, mulai dari ekonomi sampai penghapusan kelas sosial. (5) Kebebasan. Dalam lingkup pendidikan mereka memperjuangkan universitas bebas, sekolah bebas, perkumpulan mahasiswa bebas; dalam masyarakat mencita-citakan klinik bebas, toko bebas, dan lainnya. Pandangan ini dekat dengan gagasan anarkisme yang diusung Ivan Illich dalam pendidikan. (6) Demokrasi partisipatoris. Mereka mengarah pada demokrasi langsung ala Rousseau. (7) Revolusi. Dalam hal ini, Nigel Young mengatakan bahwa Kiri Baru merupakan perpaduan model revolusi Marxisme klasik, Leninisme, dan Maoisme yang diolah dengan gagasan Che Guevara, Fidel Castro, dan Debrai. Akhirnya revolusi menurut mereka identik dengan kekerasan semacam kudeta berdarah. Di lain tempat, gagasan Mazhab Frakfurt adalah anti kekerasan sebagaimana diusung Herbert Macuse. Dalam perjalanannya, gerakan revolusi kekerasan telah menjadi salah satu sebab memudarnya gerakan Kiri Baru di Barat. Memudarnya gerakan Kiri Baru di Barat pada awal 1970-an menurut D. Schon adalah karena tidak jelasnya bentuk gerakan. Aksi protes dan demonstrasi mereka sering tidak mendapat tanggapan penguasa, di samping itu mereka juga tidak mampu menggalang kekuatan karena struktur organisasi yang tidak jelas. Akibatnya Kiri Baru dikatakan lebih sebagai mood daripada movement, Nigel Young menyebutnya sebagai suatu revolusi kekanak-kanakan dari mahasiswa marah yang kekiri-kirian. Di Barat, gerakan ini semakin dikuasai emosi-emosi mereka; menjadi militan dan diresapi oleh kebutuhan akan utopia-utopia religius. Kecenderungan ini semakin memperkuat sayap kanan yang koservatif dan melemahkan Kiri Baru. Kini Kiri Baru di Amerika terpecah menjadi sekte berbau keagamaan yang menjadikannya tidak relevan dari arus Kiri Baru semula. Dengan sejarah yang berbeda, gerakan Kiri Baru pada mahasiswa Indonesia juga mengalami militansi dan mengarah pada gerakan utopia religius. Young mengidentifikasi bahwa krisis identitas dalam gerakan Kiri Baru di Barat terjadi faktor internal berupa keterbatasan ideologi, strategi, analisis, leadership; sedangkan faktor eksternal adalah karena belum dapat menempatkan diri dalam gerakan di dunia ketiga dan pengaruh pemikiran Marxisme-Leninisme. Di Indonesia masalah yang sama juga terjadi. Kiri Baru sekarang masih ada yang dapat mengembangkan dirinya dalam bentuk gerakan feminisme, gerakan antinuklir, gerakan ekologi, keadilan gender, yang caranya lebih disesuaikan dengan keadaan. Memudarnya gerakan Kiri Baru seolah meneguhkan tesis Francis Fukuyama dalam The End of History-nya bahwa sejarah telah berakhir dan pemenangnya adalah Kapitalis-Liberalis. Namun jika ditinjau lebih mendalam sebenarnya yang memudarkan gerakan ini adalah adanya problematika yang besar pada prinsip nilai mereka. Misal revolusi yang mengandaikan jebolnya tatanan lama dan menggantikannya dengan yang sama sekali baru adalah hal yang tak mungin. Pun dalam demokrasi partisipatoris hanya dapat diterapkan dalam masyarakat kecil, bukan masyarakat besar seperti sekarang. Problematika pada gerakan mahasiswa yang belum tuntas pada level filosofis tersebut berimbas pada gagapnya praksis gerakan di lapangan. Sekarang hanya ada satu dua letupan demonstrasi mahasiswa, itu pun tidak didengarkan pemerintah. Dan agaknya masyarakat sekarang mulai berani melakukan demonstrasi untuk menuntut hak-hak mereka dan mengkritisi kebijakan pemerintah. Inikah buah keberhasilan gerakan Kiri Baru yang di Indonesia dibawa oleh mahasiswa? Jika sudah berhasil buat apa gerakan mahasiswa? Ibarat lahan garapan mahasiswa dalam menyadarkan dan memberdayakan sudah selesai karena masyarakat sebagian besar sudah sadar, lalu hal apa lagi yang harus digarap mahasiswa? Jangan terlena dengan pernyataan ini, masih banyak hal yang belum selesai diperjuangkan. Apa yang disuarakan oleh masyarakat yang berani demonstrasi hanyalah pucuk dari gunung es problematika yang belum terlihat. Berpijak pada paradigma kritis, maka banyak hal yang harus disingkap selubung ideologis dan kepentingannya dalam masyarakat yang menindas. Berkaca pada problematika gerakan mahasiswa yang diletakkan sebagai varian gerakan Kiri Baru di atas, apa yang dapat kita lakukan sekarang? Tidak usah muluk-muluk, mungkin kita perlu diskusi santai dulu, sambil ngopi dan menikmati gorengan agar otak bisa cair dan mencari alternatif solusi pemecahan masalah. Kelemahan mahasiswa pada pemahaman istilah semisal Kanan, Kiri, Liberal, Pluralisme, Sekularisme, Demokrasi, Kritisisme, dan lainnya tampaknya harus digugat; biar semuanya mau berkaca dan membaca serta berdiskusi, agar tak saling hujat dan lebih bijak. Karena pada level mahasiswa bukankah tugas utamanya dalam konstruksi transformasi sosial adalah pada pembentukan paradigma berpikir dan character building(?

Tidak ada komentar: