BISMILLAHIRAHMANIRAHIM

Animasi

Selasa, 31 Januari 2012

Mencintai Penanda Dosa

oleh Salim A. Fillah Dalam hidup, Allah sering menjumpakan kita dengan orang-orang yang membuat hati bergumam lirih, “Ah, surga masih jauh.” Pada banyak kejadian, ia diwakili oleh orang-orang penuh cahaya yang kilau keshalihannya kadang membuat kita harus memejam mata. Dalam tugas sebagai Relawan Masjid di seputar Merapi hari-hari ini, saya juga bersua dengan mereka-mereka itu. Ada suami-isteri niagawan kecil yang oleh tetangganya sering disebut si mabrur sebelum haji. Selidik saya menjawabkan, mereka yang menabung bertahun-tahun demi menjenguk rumah Allah itu, menarik uang simpanannya demi mencukupi kebutuhan pengungsi yang kelaparan dan kedinginan di pelupuk mata. “Kalau sudah rizqi kami”, ujar si suami dengan mata berkaca nan manusiawi, “Kami yakin insyaallah akan kesampaian juga jadi tamu Allah. Satu saat nanti. Satu saat nanti.” Saya memeluknya dengan hati gerimis. Surga terasa masih jauh di hadapan mereka yang mabrur sebelum berhaji. Ada lagi pengantin surga. Keluarga yang hendak menikahkan dan menyelenggarakan walimah putra-putrinya itu bersepakat mengalihkan beras dan segala anggaran ke barak pengungsi. Nikah pemuda-pemudi itu tetap berlangsung. Khidmat sekali. Dan perayaannya penuh doa yang mungkin saja mengguncang ‘Arsyi. Sebab semua pengungsi yang makan hidangan di barak nan mereka dirikan berlinangan penuh haru memohonkan keberkahan. Catatan indah ini tentu masih panjang. Ada rumah bersahaja berkamar tiga yang menampung seratusan pelarian musibah. Untuk pemiliknya saya mendoa, semoga istana surganya megah gempita. Ada juru masak penginapan berbintang yang cutikan diri, membaktikan keahlian di dapur umum. Ada penjual nasi gudheg yang sedekahkan 2 pekan dagangannya bagi ransum para terdampak bencana. Semoga tiap butir nasi, serpih sayur, dan serat lelaukan bertasbih untuk mereka. Ada juga tukang pijit dan tukang cukur yang keliling cuma-cuma menyegarkan raga-raga letih, barak demi barak. Ada dokter-dokter yang rela tinggalkan kenyamanan ruang berpendingin untuk berdebu-debu dan berjijik-jijik. Ada lagi para mahasiswa dan muda-mudi yang kembali mengkanakkan diri, membersamai dan menceriakan bocah-bocah pengungsi. Semua kebermanfaatan surgawi itu, sungguh membuat iri. *** “Ah, surga masih jauh.” Setelah bertaburnya kisah kebajikan, izinkan kali ini saya justru mengajak untuk menggumamkan keluh syahdu itu dengan belajar dari jiwa pendosa. Jiwa yang pernah gagal dalam ujian kehidupan dariNya. Mengapa tidak? Bukankah Al Quran juga mengisahkan orang-orang gagal dan pendosa yang berhasil melesatkan dirinya jadi pribadi paling mulia? Musa pernah membunuh orang. Yunus bahkan sempat lari dari tugas risalah yang seharusnya dia emban. Adam juga. Dia gagal dalam ujian untuk tak mendekat pada pohon yang diharamkan baginya. Tapi doa sesalnya diabadikan Al-Quran. Kita membacanya penuh takjub dan khusyu’. “Rabb Pencipta kami, telah kami aniaya diri sendiri. Andai Kau tak sudi mengampuni dan menyayangi, niscaya jadilah kami termasuk mereka yang rugi-rugi.” Mereka pernah menjadi jiwa pendosa, tetapi sikap terbaik memuliakan kelanjutan sejarahnya. Kini izinkan saya bercerita tentang seorang wanita yang selalu mengatakan bahwa dirinya jiwa pendosa. Kita mafhum, bahwa tiap pendosa yang bertaubat, berhijrah, dan berupaya memperbaiki diri umumnya tersuasanakan untuk membenci apa-apa yang terkait dengan masa lalunya. Hatinya tertuntun untuk tak suka pada tiap hal yang berhubungan dengan dosanya. Tapi bagaimana jika ujian berikut setelah taubat adalah untuk mencintai penanda dosanya? Dan wanita dengan jubah panjang dan jilbab lebar warna ungu itu memang berjuang untuk mencintai penanda dosanya. “Saya hanya ingin berbagi dan mohon doa agar dikuatkan”, ujarnya saat kami bertemu di suatu kota selepas sebuah acara yang menghadirkan saya sebagai penyampai madah. Didampingi ibunda dan adik lelakinya, dia mengisahkan lika-liku hidup yang mengharu-birukan hati. Meski sesekali menyeka wajah dan mata dengan sapu tangan, saya insyaf, dia jauh lebih tangguh dari saya. “Ah, surga masih jauh.” Kisahnya dimulai dengan cerita indah di semester akhir kuliah. Dia muslimah nan taat, aktivis dakwah yang tangguh, akhwat yang jadi teladan di kampus, dan penuh dengan prestasi yang menyemangati rekan-rekan. Kesyukurannya makin lengkap tatkala prosesnya untuk menikah lancar dan mudah. Dia tinggal menghitung hari. Detik demi detik serasa menyusupkan bahagia di nafasnya. Ikhwan itu, sang calon suami, seorang lelaki yang mungkin jadi dambaan semua sebayanya. Dia berasal dari keluarga tokoh terpandang dan kaya raya, tapi jelas tak manja. Dikenal juga sebagai ‘pembesar’ di kalangan para aktivis, usaha yang dirintisnya sendiri sejak kuliah telah mengentas banyak kawan dan sungguh membanggakan. Awal-awal, si muslimah nan berasal dari keluarga biasa, seadanya, dan bersahaja itu tak percaya diri. Tapi niat baik dari masing-masing pihak mengatasi semuanya. Tinggal sepekan lagi. Hari akad dan walimah itu tinggal tujuh hari menjelang, ketika sang ikhwan dengan mobil barunya datang ke rumah yang dikontraknya bersama akhwat-akhwat lain. Sang muslimah agak terkejut ketika si calon suami tampak sendiri. Ya, hari itu mereka berencana meninjau rumah calon tempat tinggal yang akan mereka surgakan bersama. Angkahnya, ibunda si lelaki dan adik perempuannya akan beserta agar batas syari’at tetap terjaga. “’Afwan Ukhti, ibu dan adik tidak jadi ikut karena mendadak uwak masuk ICU tersebab serangan jantung”, ujar ikhwan berpenampilan eksekutif muda itu dengan wajah sesal dan merasa bersalah. “’Afwan juga, adakah beberapa akhwat teman Anti yang bisa mendampingi agar rencana hari ini tetap berjalan?” “Sayangnya tidak ada. ‘Afwan, semua sedang ada acara dan keperluan lain. Bisakah ditunda?” “Masalahnya besok saya harus berangkat keluar kota untuk beberapa hari. Sepertinya tak ada waktu lagi. Bagaimana?” Akhirnya dengan memaksa dan membujuk, salah seorang kawan kontrakan sang Ukhti berkenan menemani mereka. Tetapi bi-idzniLlah, di tengah jalan sang teman ditelepon rekan lain untuk suatu keperluan yang katanya gawat dan darurat. “Saya menyesal membiarkannya turun di tengah perjalanan”, kata muslimah itu pada saya dengan sedikit isak. “Meskipun kami jaga sebaik-baiknya dengan duduk beda baris, dia di depan dan saya di belakang, saya insyaf, itu awal semua petakanya. Kami terlalu memudah-mudahkan. AstaghfiruLlah.” Ringkas cerita, mereka akhirnya harus berdua saja meninjau rumah baru tempat kelak surga cinta itu akan dibangun. Rumah itu tak besar. Tapi asri dan nyaman. Tidak megah. Tapi anggun dan teduh. Saat sang muslimah pamit ke kamar mandi untuk hajatnya, dengan bantuan seekor kecoa yang membuatnya berteriak ketakutan, syaithan bekerja dengan kelihaian menakjubkan. “Di rumah yang seharusnya kami bangun surga dalam ridhaNya, kami jatuh terjerembab ke neraka. Kami melakukan dosa besar terlaknat itu”, dia tersedu. Saya tak tega memandang dia dan sang ibunda yang menggugu. Saya alihkan mata saya pada adik lelakinya di sebalik pintu. Dia tampak menimang seorang anak perempuan kecil. “Kisahnya tak berhenti sampai di situ”, lanjutnya setelah agak tenang. “Pulang dari sana kami berada dalam gejolak rasa yang sungguh menyiksa. Kami marah. Marah pada diri kami. Marah pada adik dan ibu. Marah pada kawan yang memaksa turun di jalan. Marah pada kecoa itu. Kami kalut. Kami sedih. Merasa kotor. Merasa jijik. Saya terus menangis di jok belakang. Dia menyetir dengan galau. Sesal itu menyakitkan sekali. Kami kacau. Kami merasa hancur.” Dan kecelakaan itupun terjadi. Mobil mereka menghantam truk pengangkut kayu di tikungan. Tepat sepekan sebelum pernikahan. “Setelah hampir empat bulan koma”, sambungnya, “Akhirnya saya sadar. Pemulihan yang sungguh memakan waktu itu diperberat oleh kabar yang awalnya saya bingung harus mengucap apa. Saya hamil. Saya mengandung. Perzinaan terdosa itu membuahkan karunia.” Saya takjub pada pilihan katanya. Dia menyebutnya “karunia”. Sungguh tak mudah untuk mengucap itu bagi orang yang terluka oleh dosa. “Yang lebih membuat saya merasa langit runtuh dan bumi menghimpit adalah”, katanya terisak lagi, “Ternyata calon suami saya, ayah dari anak saya, meninggal di tempat dalam kecelakaan itu.” “SubhanaLlah”, saya memekik pelan dengan hati menjerit. Saya pandangi gadis kecil yang kini digendong oleh sang paman itu. Engkaulah rupanya Nak, penanda dosa yang harus dicintai itu. Engkaulah rupanya Nak, karunia yang menyertai kekhilafan orangtuamu. Engkaulah rupanya Nak, ujian yang datang setelah ujian. Seperti perut ikan yang menelan Yunus setelah dia tak sabar menyeru kaumnya. “Doakan saya kuat Ustadz”, ujarnya. Tiba-tiba, panggilan “Ustadz” itu terasa menyengat saya. Sergapan rasa tak pantas serasa melumuri seluruh tubuh. Bagaimana saya akan berkata-kata di hadapan seorang yang begitu tegar menanggung semua derita, bahkan ketika keluarga almarhum calon suaminya mencampakkannya begitu rupa. Saya masih bingung alangkah teganya mereka, keluarga yang konon kaya dan terhormat itu, mengatakan, “Bagaimana kami bisa percaya bahwa itu cucu kami dan bukan hasil ketaksenonohanmu dengan pria lain yang membuat putra kami tersayang meninggal karena frustrasi?” “Doakan saya Ustadz”, kembali dia menyentak. “Semoga keteguhan dan kesabaran saya atas ujian ini tak berubah menjadi kekerasan hati dan tak tahu malu. Dan semoga sesal dan taubat ini tak menghalangi saya dari mencintai anak itu sepenuh hati.” Aduhai, surga masih jauh. Bahkan pinta doanya pun menakjubkan. Allah, sayangilah jiwa-jiwa pendosa yang memperbaiki diri dengan sepenuh hati. Allah, jadikan wanita ini semulia Maryam. Cuci dia dari dosa-dosa masa lalu dengan kesabarannya meniti hari-hari bersama sang buah hati. Allah, balasi tiap kegigihannya mencintai penanda dosa dengan kemuliaan di sisiMu dan di sisi orang-orang beriman. Allah, sebab ayahnya telah Kau panggil, kami titipkan anak manis dan shalihah ini ke dalam pengasuhanMu nan Maha Rahman dan Rahim. Allah, jangan pula izinkan hati kami sesedikit apapun menghina jiwa-jiwa pendosa. Sebab ada kata-kata Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Kitab Az Zuhd yang selalu menginsyafkan kami. “Sejak dulu kami menyepakati”, tulis beliau, “Bahwa jika seseorang menghina saudara mukminnya atas suatu dosa, dia takkan mati sampai Allah mengujinya dengan dosa yang semisal dengannya.”

Otodidak, Pilihan atau Keharusan?

Di jaman internet saat ini dunia telah menjadi ‘flat’, setiap individu di penjuru dunia kini dapat langsung berkompetisi tanpa halangan ruang dan waktu, yang menjadi penilaian adalah kompetensi. Konsep ‘flat’ inipun membuat individu kini dapat berkompetisi secara langsung dengan tim atau perusahaan sekalipun, walau bukan sebuah pertarungan yang fair jika seorang individu harus melawan sebuah perusahaan. Ada sebuah anugrah dengan adanya internet, arus aliran informasi dan pengetahuan pada negara-negara maju kini menjadi lebih deras dan dapat diakses di belahan dunia manapun. Hal itu setidaknya dapat mengurangi ‘gap’ knowledge antara negara berkembang dan negara maju. Dimana saya yang fokus di dunia IT sangat-sangat terbantu dengan adanya internet saat ini. Tetapi setelah menelusuri ‘komunitas maya’ yang mayoritas kontributor2-nya dari negara maju, memberikan sebuah gambaran bahwa knowledge gap itu masih cukup besar. Pada sebuah komunitas ‘application framework’ saya menemukan seorang kontributor yang umurnya masih 20tahunan, yang dapat memberikan sebuah ‘knowledge’ yang cukup mendalam dan orisinal hasil kreatifitasnya. Kemudian dari milis-milis yang saya ikuti, kontributor2 negara maju biasanya sangat mengetahui teknologi yang digunakan sehingga paradigmanya tidak lagi sebagai user tetapi sebagai ‘developer’ memberikan masukan-masukan kepada komunitas untuk perbaikan-perbaikan pada aplikasi(software). Sedangkan saya hanya baru bisa bertanya, bagaimana menjalankan ini dan itu, masih sebagai user. Pertama saya merasa itu hal yang wajar, karena memang asal muasal teknologi itu dari negara-negara berkembang. Wajar kan toh fasilitas edukasi kita masih kalah dibanding mereka. Tetapi setelah berdiskusi dengan teman yang sedang belajar di sono no, ada aspek pendidikan kita yang tidak efisien, dan membuat pemahaman akan keilmuan kita menjadi ‘setengah-setengah’. Klo kt temen saya itu disana belajarnya tuh “praxis oriented”, yang dalam bahasa lainnya mungkin bisa disederhanakan dengan “knowing, doing, and being context” (ngutip judul buku). Maksudnya? Jadi sistem pembelajaran di negara maju kasus temen saya di jerman (untuk tingkat universitas), ternyata kontak dengan industrinya itu cukup kuat. Artinya setiap hal yang dipelajari dapat di’test’ langsung di dunia nyata yaitu dunia bisnis(industri). Saya jadi inget ada universitas di berlin (lupa) dalam sebuah tayangan televisi, jadi di univ itu ada ‘perusahaan’ dalam kampus, mahasiswa-mahasiswa disitu banyak yang magang disitu dan infrastruktur kampus pun seperti ‘menyatu’ dengan infrastruktur perusahaan walaupun pengelolaan detailnya saya gak tau gimana, jadi universitasnya dah High Tech (BJ Habibie bilang). Dengan begitu mahasiswa-mahasiswa dapat mengetahui gambaran dimana ilmunya akan diimplementasikan. Ato seperti MIT, Carnegie yang banyak melakukan penemuan untuk dimanfaatkan di dunia industri (dunia real) dan saling timbal balik (industri membiayai risetnya). Berbeda dengan di Indonesia yang ikatan universitas ama industri nya gak ‘deket-deket’ amat, sehingga banyak kasus yang bidang kerjanya tidak sejalan dengan jurusan yang dia ikuti waktu di Universitas. Bagi orang yang diberi kesempatan untuk S2/S3 mungkin merasakan hal yang berbeda, dia dapat menspesialisasikan ilmunya, tetapi sekali lagi tanpa ada proses sinergi dengan dunia industri, anak S2 pun mungkin saja masih wandering ketika dia harus memilih pekerjaan mana yang seharusnya dia pilih. Apalagi bagi anak S1, yang pengetahuannya masih umum, kalau ngutip dosen saya bilang “Anak S1 itu adalah orang yang siap belajar”, jadi belum siap pakai karena harus diberi waktu untuk belajar terlebih dahulu. Saya sih setuju2 aja dengan kata2 siap belajar….tapi kok baru S1 ya baru siap belajar, kenapa gak dari dulu-dulu…padahal orang-orang diujung dunia sana sudah siap pakai dan siap berkompetisi walau dengan kapasitas keilmuan S1. Jika secara potensi saya tidak meragukan orang-orang Indonesia, tetapi tanpa proses sinergi dengan industri, potensi-potensi itu tidak secara maksimal dapat dikembangkan. Orang-orang yang berprestasi lebih senang pergi keluar negeri karena disana mereka memiliki fasilitas untuk mengaplikasikan keilmuannya. Alternatif lain dimana seseorang menciptakan lapangan industri dengan berentrepreneur untuk di Indonesia kadang tidak terlalu didukung, tidak ada policy tuk ‘membantu’ entrepreneur yang baru terjun dengan dukungan dana dan keilmuan dari pemerintah (ato saya gak tau?). Padahal untuk proses alih teknologi dari negara maju harus ada instrumen industri yang dapat mengaplikasikan teknologi tersebut. Klo gini caranya Indonesia bakal jadi user terus. Dengan adanya internet sebenarnya bisa sih indonesia cukup mengangkat dirinya dan mempercepat proses alih teknologi dari negara-negara maju….Otodidak! Sebenarnya definisi otodidak ini harus diperjelaskembali. Kadang orang membatasi diri dengan proses belajar hanya bisa sempurna dilakukan melalui lembaga pendidikan (D1, D2, … S1, S2, S3), dan menganggap proses otodidak hanya menghasilkan pemahaman yang tidak sistematis, serabutan, tidak metodologis, dll. Atau klo bahasa IF tuh, anak S1 tingkatannya dah analis bukan programmer lagi, klo belajar programming secara otodidak sampai kapanpun akan tetap jadi programmer….apa betul? Ada deskripsi yang dapat menjelaskan otodidak dengan lebih baik: Informal learning is by definition unsystemized and depends upon learner’s self motivation to direct their own learning. Sometimes referred to as autodidactism, informal learning is the most common type of learning, in fact it is so common that many participants do not even recognize that they are learning when they investigate or research a topic of interest. In a self-reported survey of 1562 adults in 1998, Livingstone (1999) found that Canadians were averaging about 15 hours a week in informal learning activities. Self-directed learning is however rarely credential zed or recognized by accrediting bodies, professions or employers. The recent and continuing availability of learning and information resources on the Net has created opportunities for very significant improvements in the capacity to engage in informal learning (Candy, 2004). Proponents of Self-directed learning often hold antagonistic attitudes towards formal education systems which they see as monopolistic, coercive and inefficient. This sense was captured by Albert Einstein’s famous quote that “The only thing that interferes with my learning is my education.” Jadi sebenarnya yang membedakan otodidak atau tidak adalah tuntutannya, klo otodidak tuntutannya sepenuhnya dari diri sendiri, arahan, metode, cara semua ditentukan oleh diri sendiri, sedangkan akademis tuntutannya dari universitas/lembaga pendidikan. Menurut saya baik otodidak maupun tidak semuanya sama-sama dapat menghantarkan pada tingkat keilmuan yang sama. Tetapi karena arahan, metode otodidak ditentukan oleh diri sendiri, setiap otodidakers (istilah sendiri ini mah) harus benar-benar mengetahui metodologi yang baik dalam berotodidak. Mengapa harus otodidak? Ya bener kata einstein “satu hal yang menghalangi proses belajar saya adalah pendidikan (akademis)”. Justru dengan otodidak kita dapat mengembangkan seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya objek yang ingin dipahami tanpa terikat dengan batasan-batasan tingkat akademis (S1, S2, S3), yang penting adanya akses informasi/pengetahuan untuk mendalami ilmu-ilmu itu. Apalagi bagi orang-orang yang tidak memiliki akses pendidikan(akademik), otodidak mau tidak mau menjadi satu-satunya solusi untuk dia bisa tetap ‘stay tune’ dengan dunia. Dari pengalaman saya, kadang (sebagian besar) saya justru banyak belajar mengenai bagaimana mengimplementasikan pengetahuan yang saya miliki bukan dari bangku kuliah, tetapi dari dunia nyata atau informasi di Internet. Internet sebenarnya telah memberikan akses kepada paper2, buku2, bahkan profesor2 yang bisa kita tanya selama kita punya akses internet. Tetapi karena pokok2 pembahasan itu kadang tidak terkait secara langsung, memfilter, mengkategorikan dan memverifikasi informasi yang didapat menjadi hal yang sangat penting. Sehingga kita tetap dapat fokus terhadap subjek yang sebenarnya ingin kita pelajari. Kemudian ada hal yang penting juga, sebagai otodidakers sangat disarankan memiliki komunitas untuk saling sharing, koreksi atas ilmu-ilmu yang dimilikinya. Tentunya kualitas komunitas akan berpengaruh terhadap knowledge yang akan didapat. Pada akhirnya knowledge gap dengan negara-negara maju dapat benar-benar diminimalisir ketika kita dapat dengan aktif terlibat, berkontribusi dalam komunitas pengetahuan yang melibatkan kontributor-kontributor di seluruh dunia yang memahami teknologi dengan secara mendalam. Kemudian kita dapat menularkannya (mentranslasikannya) kepada komunitas-komunitas lokal untuk bisa meningkatkan tingkat kompetensi dalam negeri. Untuk benar-benar menghilangkan knowledge gap memang tak bisa secara individu, membutuhkan tangan yang lebih besar….pemerintah!!! IPTN bisa membuat N250 karena dukungan finansial dari negara (Pak Habibie sendiri tidak akan mungkin mampu), tidak mungkin seorang individu dapat mengalahkan sebuah negara. You can’t do it by yourself, no matter how smart you are. Markets move too quickly, technologies grow too complex, and too many smart people are investing too much time and money in innovation. And, by the way, lots of those smart people are working in teams, trying to beat you out. (Steve Jobs)

cold and dark

Malam itu kota leipzig terasa sepi dan dingin, daun-daun coklat dan kering jatuh berterbangan ditiup angin yang cukup menusuk kulit. Cahaya lampu kota terlihat seperti lilin-lilin kecil, terangnya ditutupi embun yang sangat tebal, begitu remang-remang dan keberadaannya hanya dapat menjaga sang pengguna jalan untuk tiga meter kedepan saja. Jalan-jalan kosong seperti kota mati, manusia-manusia pengisi kota ini lebih memilih berbaring di atas sofa didepan perapiannya, menyalakan televisi dan menonton satu opera sabun yang setiap hari sabtu pukul 21.00 ditayangkan oleh stasiun tv Beindo. Di pinggir kota, asap racun mengepul dari sebuah rokok filter bercampur dengan embun. Pada taman yang kini terlihat seperti sebuah pemakaman yang telah lama tak dijamah oleh manusia. Dia duduk dibangku kayu khas eropa yang klasik, dikelilingi pohon-pohon meranggas yang rontok yang hanya menyisakan sedikit daun-daunnya yang terakhir. Tubuhnya terlihat sedang kelelahan menggigil sekedar untuk mempertahankan suhu badannya yang kian turun. Wajahnya yang kian pucat adalah bahasa alami dari tubuh yang ingin mengatakan bahwa dia dalam keadaan yang kepayahan. Kontradiktif dengan pikiran tubuhnya, sebuah senyum yang miris dan tatapan yang tajam tetapi kosong terlihat dari raut muka sang pria tersebut. Hancurkan diri ini tanpa makna seiring waktu berjalan Sebuah kesalahan tidak pernah dapat ditarik lagi jika telah keluar dari selongsongnya Telah lama dia berpikir, terlihat dari puntung-puntung yang telah berserakan. Tetapi semakin lama dia merenung semakin kusut mukanya, dahinya mengernyit seperti kerutan-kerutan pada orang tua. Semakin lama asap yang mengepul semakin banyak, dan malam pun semakin larut. Orang-orang yang berjalan disitu pasti sudah menggigil kedinginan, dan ingin segera lari ke depan perapiannya. Tetapi pria itu seakan sedang memanaskan tungku dalam dirinya, konsentrasi pikirannya membuat dia tidak merasa berada pada cuaca -5 derajat celcius. Memang tidak ada pilihan lagi bagi pria itu, mau tidak mau dia harus dapat menemukan kunci permasalahan yang sekarang sedang membelitnya. Sebuah pertaruhan besar akan terjadi esok, dia tidak akan tinggal diam dan mengakui kekalahannya. Satu hal kecil yang dibutuhkan hanyalah kepingan puzzle dari teka-teki besar yang sedikit demi sedikit telah terurai didalam kepalanya. Kini dia berpacu dengan waktu, dia tak mungkin menunggu lebih lama lagi, sebelum tubuhnya membeku dan aliran darah dalam tubuhnya berhenti. Kini jam sudah menunjukkan pukul 23:15, suhu telah turun menjadi -10 derajat celcius. Baru kali ini terlihat seorang mempertaruhkan nyawanya dalam cara yang sangat aneh, duduk di sebuah taman dan memacu adrenalinnya untuk menemukan jawaban sebelum tubuhnya membeku. “Sial, setengah jam lagi aku duduk disini, besok orang-orang akan menemukan sesosok mayat sedang duduk tolol memegang satu batang rokok dimulutnya” pria itu menggumam dengan dirinya sendiri, seakan-akan dia berbicara pada orang lain. Pada saat dia berniat mengambil batang rokok yang terakhir, tiba-tiba terdengar sirine dari kejauhan, warna terang merah tampak dari sisi barat kota. Walau hanya cahaya kemerahan yang terlihat dia sepertinya dapat merasakan panasnya sampai ke dadanya. Senyuman tersungging mempertegas kepuasan dirinya akan hal yang baru saja terlintas pada kepalanya. “Rupanya Tuhan masih memberi cahaya untukku, besok sepertinya matahari akan memberikan sinarnya pada diriku”. Tawanya menggaung seakan menyambut kobaran api yang sedang menjilat-jilati di sisi kota leipzig.

Untuk IBU!!!

Maaf, tidak banyak yang bisa kuberikan Maaf, jika selama ini saya tidak memberikan yang terbaik, Menjadi anak shaleh yang dapat dibanggakan olehmu Sering lidah, dan tangan ini menyakiti hatimu Maaf, setiap ku sadar telah menyakitimu, saya sangat-sangat menyesalinya Tapi sepatah katapun tidak dapat keluar dari mulutku Sungguh, saya ingin memberikan yang terbaik untukmu Tidak pernah sedikitpun ingin membebanimu Tapi lagi-lagi kebodohan dan kemalasanku merepotkan dirimu Ketika uban-uban mulai bermunculan, aku mulai menyadarinya Dari setiap helai rambutmu tertanam seribu kebaikan pada diriku Aku tidak pernah dapat membalasnya, walau seribu tahun lama hidupku Ketika keriput-keriput muncul, wajah kepayahanmu terlihat jelas dimataku Tetapi kau selalu terlihat tegar didepanku Memberiku semangat untuk terus berjuang Terima Kasih, Jazakillah Khairan Katsiran Di setiap nafasku terdapat doamu Di setiap pembuluh darahku, mengalir kebaikan-kebaikanmu Tidak pernah kulupakan kasih sayangmu Walau aku telah dewasa tetapi aku tetap malu tuk mengungkapkannya Aku benar-benar mencintaimu Kaulah orang yang paling kucintai setelah rasa cintaku pada Rasul Walau kadang ku terjatuh pada keegoan dan nafsu Tapi aku tidak akan melepas harapanmu dipundakku Insya Allah aku akan menjadi bagian dari para pejuang di jalan Allah Sehingga kau bisa membanggakan diriku di tengah-tengah manusia Terima kasih ibu, atas segalanya

Ketika Sebuah Kebaikan Harus Berbalas

Pagi ini kepala agak pusing karena malam tidur terlalu larut (jam 2 malam), padahal sebelumnya sudah menentukan resolusi agar tidur lebih awal. Sebelum beranjak kepada kode-kode di komputer yang akan membuat kepala ini berkerut saya sempatkan untuk menuangkan pikiran-pikiran yang ada dalam benak di pagi ini. Judul diatas saya ambil untuk mengkritisi budaya materialistis di tengah-tengah masyarakat yang telah menjadi akidah utama di sebagian kalangan. Kita tentunya sudah tidak aneh dengan pernyataan-pernyataan “ngapain kamu nolongin dia? kan dia orangnya rese, gak ada untungnya juga nolongin dia”, atau dengan pernyataan “emang kamu pernah nolong saya? ngapain saya tolong kamu” dan kalimat-kalimat sejenisnya yang mengungkapkan konsep harus adanya ‘timbal-balik’ dalam tolong menolong. Mungkin pernyataan-pernyataan diatas terlalu ekstrim, tetapi kita bisa tarik kedalam hal yang lebih halus. Setiap kebaikan dalam masyarakat ini kadang terlalu dikorelasikan dengan sebuah hubungan “saling menguntungkan”, seperti pernyataan “maaf sudah merepotkan, ini uang untuk sekedarnya”. Tidak salah memang, tetapi yang saya garis bawahi disini adalah kecenderungan masyarakat untuk menilai segalanya dari hubungan “kemanfaatan”. Ketika ada suatu permintaan untuk “merepotkan” orang lain, identik dengan balasan tertentu. Padahal bagi seorang muslim hal itu harusnya dilakukan karena keinginannya untuk beribadah kepada Allah SWT. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Abu Huraira RA, Nabi SAW bersabda, ”Barangsiapa melepaskan seorang Mukmin dari kesusahan hidup di dunia, niscaya Allah akan melepaskan kesulitan dari dirinya di hari kiamat. Barangsiapa memudahkan urusan (Mukmin) yang sulit, niscaya Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Barang siapa menutup aib seorang Muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu senantiasa menolong saudaranya.” Inti yang ingin saya sampaikan adalah, seharusnya ketika seorang muslim “direpotkan” oleh permintaan-permintaan orang lain, jangan sampai ada perrasaan merugi telah mengorbankan waktu dan tenaganya untuk memenuhi permintaan itu.

Peran Dan Fungsi Mahasiswa

Mahasiswa is What They Wants to Be Selama ini jika muncul pertanyaan “Apakah Peran dan Fungsi Mahasiswa ?”, maka jawabannya tidak akan terlalu jauh dari beberapa poin ini : 1. Mahasiswa sebagai Iron Stock Mahasiswa diharapkan untuk menjadi pengganti para pemimpin bangsa yang hebat di masa depan. Tentu saja dengan mental sekuat besi. 2. Mahasiswa sebagai Agent of Change Sebagai agen perubahan, para mahasiswa diharapkan dapat membawa angin perubahan yang positif kepada tanah air. 3. Mahasiswa sebagai Social Control Memiliki Sense of Crisis. Mahasiswa hendaknya tidak hanya mampu dalam bidang akademis saja, tapi juga mampu bersosialisasi dengan lingkungan di sekitarnya. 4. Mahasiswa sebagai Moral Force Menjaga moral-moral yang telah ada dan tentu saja turut melaksanakan moral tersebut. Poin-poin tersebut memang sudah benar. Jika para mahasiswa memenuhi syarat di atas, bangsa kita akan menakutkan di mata dunia. Tapi perlu disadari bahwa Peran dan Fungsi Mahasiswa tidak hanya sebatas sebagai iron stock, agent of change, social control, serta moral force saja. Mahasiswa memiliki peran dan fungsi yang lebih beragam dan luas lagi. Kita merupakan remaja yang sudah “maha” secara fisik, kemampuan, dan mental namun tetap merupakan “siswa” yang masih harus banyak belajar banyak hal. Sebagai “siswa” yang telah “maha” yakinlah, mahasiswa bisa menjadi apapun yang mereka mau. Mahasiswa is What They Wants to Be Jika kita menengok ke belakang, sudah terpatri dalam sejarah bahwa “Empat Poin Peran dan Fungsi Mahasiswa” dimiliki oleh hampir seluruh mahasiswa bangsa ini. Mulai dari fase pemberontakan terhadap penjajah hingga sampai pada fase kemerdekaan, mahasiswa selalu yang menjadi sorotan. Tak hanya terhenti disitu, mahasiswa juga terus berkontribusi hingga ke fase era reformasi. Namun bagaimana dengan mahasiswa di era modern globalisasi sekarang ini ? Para lulusan mahasiswa banyak yang menyayangkan tingkah laku mahasiswa di zaman modern ini. Hedon, itu kata mereka. Dan masih banyak pendapat lain yang cenderung negatif mengenai Peran dan Fungsi Mahasiswa sekarang. Intinya, mahasiswa sekarang sudah menyimpang dari kodrat yang sesungguhnya. Hal yang sering terdengar adalah mahasiswa sekarang cenderung tidak peduli terhadap esensi. Kalau pun peduli, mahasiswa selalu mengaitkan hal tersebut dengan kepentingan individu masing-masing. Entah mahasiswa sekarang yang mulai terbiasa berpolitik atau politik yang sudah merasuk dalam jiwa kita. Bisa dikatakan, mereka menganggap mahasiswa “tidak tahu esensi tetapi sok”. Dengan idealisme mahasiswa, kita harus tetap percaya dan yakin pada diri sendiri selama itu positif. Sebab jika ditelaah, berpolitik bukan hal yang luar biasa lagi bagi mahasiswa. Sebagai bukti, dapat dilihat berbagai kegiatan organisasi yang ada di perguruan tinggi. Memang kebanyakan masih politik yang bersifat semi dan bayangan karena sebagai “siswa”, kita tetap harus dibimbing oleh mereka yang sudah lulus dari tahapan siswa. Namun faktanya, mahasiswa kerap menjadi Shock Therapy bagi mereka untuk terus meningkatkan kualitas diri agar tidak kalah oleh kita yang berkemampuan “maha”. Bahkan tukar pikiran dengan mahasiswa pun sering dilakukan. Bukan itu saja, mahasiswa juga berfungsi sebagai Reminder bagi mereka, bahwa kelak mereka akan digantikan oleh kita yang sekarang memang masuh berstatus mahasiswa. Gambaran sederhana tersebut membuktikan bahwa kita, para mahasiswa ini, dapat menjadi apapun yang kita mau dan tetap bisa menunjukkan kemahasiswaan kita. Asal ada usaha tentunya. Jadi tetap yakin saja dengan peran dan fungsi kita sebagai mahasiswa. Because, Mahasiswa is What They Wants to be !

Legislatif : Sebuah Simbol Kedaulatan Mahasiswa

“ Kepada mereka............... Yang masih memiliki idealisme kemanusiaan Yang semangat perjuangannya masih menggelora Yang ruh dan hidupnya hanya untuk pengabdian Yang akan melahirkan kejayaan peradaban Bangsa. ” Kata – kata legislatif..... “ Kepada mereka............... Yang masih memiliki idealisme kemanusiaan Yang semangat perjuangannya masih menggelora Yang ruh dan hidupnya hanya untuk pengabdian Yang akan melahirkan kejayaan peradaban Bangsa. ” Legislatif : Sebuah Simbol Kedaulatan Mahasiswa oleh machiavelli Kata – kata legislatif tentu saja bukanlah suatu hal yang baru di dengar dikalangan aktivis – aktivis kampus. Dalam dunia kampus, legislatif identik dengan sebuah badan perwakilan yang berisikan wakil – wakil mahasiswa yang bertugas menyerap dan menyalurkan seluruh aspirasi mahasiswa. Akan tetapi pemaknaan yang sangat mendalam ini seringkali tidak sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan. Badan legislatif cenderung dipandang sebelah mata. Sebuah badan legislatif seringkali dikonotasikan sebagai sebuah badan yang tidak mempunyai kerjaan selain rapat – rapat atau permusyawaratan. Legislatif : Sebuah Simbol Kedaulatan Mahasiswa oleh machiavelli Disinilah kita seringkali keliru dalam memaknai sebuah badan legislatif. Sesuai dengan konteks fungsinya, badan legislatif seharusnya menduduki fungsi penting dalam kehidupan mahasiswa. Alasan yang mendasarinya ialah; Pertama, badan legislatif merupakan badan yang bertugas untuk mendengarkan amanat dan aspirasi mahasiswa lalu menuangkannya ke dalam suatu kebijakan. Kebijakan yang disusun oleh badan legislatif adalah sebagai cerminan bahwa aturan – aturan yang akan diberlakukan nantinya itu berasal dari amanat dan aspirasi mahasiswa tadi. Kedua, badan legislatif merupakan suatu badan yang mengemban amanat mahasiswa dalam menjalankan fungsi check and balances terhadap badan eksekutif. Artinya, sebuah badan legislatif haruslah sensitif terhadap dampak dan gejolak yang berasal dari mahasiswa yang timbul akibat penerapan kebijakan – kebijakan oleh eksekutif. Legislatif : Sebuah Simbol Kedaulatan Mahasiswa oleh machiavelli Oleh karena itu, berangkat dari dua alasan diatas, pemberdayaan badan legislatif merupakan suatu hal yang tidak dapat ditawar lagi. Kedaulatan mahasiswa dapat ditegakkan apabila badan legislatifnya telah berdaulat. Legislatif haruslah menjadi suatu simbol kedaulatan mahasiswa. Rumah legislatif haruslah menjadi rumahnya kedaulatan mahasiswa. Sehingga dari prinsip – prinsip diatas dapat kita simpulkan bahwa apabila badan legislatifnya telah berdaulat sepenuhnya, maka kedaulatan mahasiswa pun dapat ditegakkan. Tentunya hal ini juga berangkat dari pemikiran bahwa “ Suara legislatif merupakan cerminan suara mahasiswa dan suara mahasiswa adalah suara Tuhan! “

“Kehadiran mahasiswa ditengah jurang kehancuran Negara”

Mahasiswa sebagai insane akademis, pencipta serta pengabdi masyarakat yang tentunya merupakan asset besar Negara dimasa depan pada era sekarang sepertinya telah kehilangan arah gerakan khusunya dalam menentukan orientasi sebagaimana hakikat yang seharusnya. Hal ini sebenarnya bila kita teliti lebih jauh, mahasiswa di era sekarang sudah mulai melupakan tugas dan fungsinya. Belum lagi sibuknya serta kepadatan aktifitas akademik dimana hal ini selalu dijadikan alasan yang paling utama sehingga banyak hal penting yang juga harus menjadi prioritas lantas ditelantarkan. Berbagai bentuk program perkaderan yang ada saat ini juga cenderung menilai perkaderan sebagai ajang formil yang perlu dilakukan sehingga penyampaian hal-hal yang bersifat idiologis serta hal yang bersifat lebih prinsip pun kemudian dilupakan. Ketika mahasiswa dihadapkan pada suatu realitas, maka mahasiswa cenderung reaksioner tanpa mempertimbangkan berbagai aspek yang sebenarnya terlebih dahulu diutamakan. Sikap pragmatis yang terus menerus menghinggapi perilaku mahasiswa masa kini juga terbukti bagaimana mahasiswa dalam hal ini belum bisa meletakkan posisinya pada hal yang ideal. Personality mahasiswa di era sekarang juga masih jauh dari kemandirian dan kedewasaan dan terus semakin larut dengan masuknya berbagi bentuk budaya barat. Hal ini tentunya akan menjadi batu sandungan ketika mahasiswa dibenturkan dengan berbagai budaya tersebut, sehingga semangat dan jiwa nasionalisme mahasiswa sebagai pemuda bangsa semakin hari semakin terkikis. Bebasnya bentuk pergaulan, tingginya angka penderita kecanduan akibat pemakian narkoba, merupakan berbagai indicator yang menyebabkan turunya kualitas kemandirian yang akhirnya akan menyebabkan kehancuran bagi pribadinya dan individunya masing-masing. Maka sebenarnya bagaimana kehidupan dan aktifitas apa yang sebenarnya perlu dilakukan oleh para mahasiswa sehingga mahasiswa kembali kepada jalur dan koridor ideal sesuai dengan tugas, fungsi serta peranannya mengingat mahasiswa adalah insane akdemis yang merupakan abdi masyarakat dan Negara serta agamanya dan tidak boleh dilupakan bahwa mahasiswa adalah asset bangsa di kemudian hari???????? Kampus yang hari ini dikatakan sebagai salah satu wadah yang mencetak asset ataupun generasi penerus bangsa dan kampus dikenal sebagai lembaga akademik yang juga berperan dalam mencetak berbagai tenaga ahli serta orang-orang yang mengabdikan dirinya untuk masyarakat dilingkungannya, sekarang sudah jauh dari makna yang ada. Mahasiswa hari ini sebenarnya harus kembali disadarkan akan berbagai peran dan fungsinya. Salah satu yang harus dipahami bahwa mahasiswa adalah pusat dinamisasi gerakan suatu Negara. Hal lain yaitu mahasiswa sebagai agen perubahan dan control sosial dimana mahasiswa memiliki kemampuan dengan kemampuan intelektual, berpikir cerdas, serta sigap dalam berbagai kondisi memang seharusnya diharapkan untuk dapat memberikan perubahan yang signifikan paling tidak pada lingkungan kampus dan lingkungan yang berada didekatnya. Mahasiswa hari ini harus mampu menentukan orientasinya kedepan dengan berbagai pertimbangan tentunya serta mampu menyusun segala prioritas didalam setiap tindakan sehingga target serta visi yang diahrapkan dapat tercapai sesuai harapan. Hal ini tentunya bias dilakukan dengan tanpa mengesampingkan pola yang dilakukan juga sesuai dengan nilai-nilai yang tertanam pada falsafah Negara Indonesia. Berbagai bentuk gerakan yang harus dilakukan oleh mahasiswa masa kini juga harus kembali pada hakikatnya yang mana ketika hari ini mahasiswa melakukan satu movement maka gerakan ini harus gerakan idiologis

Mengenang Kritisisme Mahasiswa

Manusia telah diajari bahwa kebajikan tertinggi bukanlah untuk mencapai sesuatu, melainkan untuk memberikan sesuatu (Ayn Rand). Mahasiswa selalu identik dengan kritisisme terutama ketika sejarah telah mencatatnya dalam membongkar kebobrokan rezim Seokarno dan Seoharto hingga menjatuhkannya. Di kandangnya sendiri (kampus) mahasiswa pun selalu tampak mengkritisi segala kebijakan dari pihak rektorat yang dianggap tak adil dan berbau KKN dan biasanya kritisisme mahasiswa mewujud dalam aksi protes dan demo. Di manapun sebenarnya gerakan mahasiswa dengan kritisismenya merupakan bagian dari gerakan Kiri Baru. Gerakan Kiri Baru diprakarsai oleh para mahasiswa dan kelompok terpelajar dalam masyarakat modern di Barat awal 1960-an. Aspirasi dasar dari gerakan ini adalah counter modernization. Gerakan kiri baru lahir karena ketegangan antara kapitalisme Amerika dan Marxisme Rusia pasca perang dunia II. Dalam pandangan Kiri Baru, kedua kekuatan tersebut sama-sama memliki kepentingan terhadap masyarakat dunia untuk mewujudkan sistem masyarakat sesuai dengan misi ideologis masing-masing, egoisme keduanya tersebutlah yang ditolak oleh Kiri Baru. Istilah Kiri Baru atau The New Left diperkenalkan kali pertama dalam majalah The New Left Review (1959) yang dikelola kelompok Marxis-Liberal. Nama tersebut diberikan oleh sosiolog Amerika, C. Wright Mills tahun 1958. Kiri Baru berlawanan dengan Kiri Lama, yaitu partai-partai komunis (Marxisme-Leninis) dan partai sosial demokrat di Barat. Kiri juga dipertentangkan dengan Kanan, yaitu mereka yang mempertahankan sistem dengan cara konservatif; dan ternyata orang-orang Kanan terdapat dalam kubu kapitalis maupun komunis. Sedangkan Kiri, menurut Mills adalah kritik terhadap struktur aktual masyarakat. Dalam pandangannya, menjadi Kiri berarti melibatkan diri dalam kritik politis, baik dalam hal tuntutan-tuntutan politis maupun program-program. Dari sisi kritiknya, Kiri Baru sangat antibirokrasi dan teknologi. Gerak kritik mereka pun beragam, mulai kritik terhadap konsumerisme, pola hidup borjuis modern, demokrasi semu, sampai gerak balik proses demokrasi itu sendiri (gerakan kembali ke alam). Gerakan ini sebagaimana awalnya terdiri dari kalangan terpelajar di kampus-kampus. M. Theodori membagi Kiri Baru menjadi tiga tahapan pergerakan, (1) ditandai dengan komitmen moral, keprihatinan individu, kesaksian pribadi akan perdamaian, kebebasan mimbar dan hak-hak sipil, (2) tahap gerakan sporadis tersebut menjadi gerakan kolektif berdasarkan cita-cita demokrasi partisipatoris dan diolah dalam program aksi massa, dan (3) tahap perjuangan mencari kekuasaan politis. Di samping itu James O'Brien menambahkan tahap keempat, yaitu tahap revolusioner sebagaimana gerakan antimilisi dan gerakan hitam bergerilya menentang pemeritah pada tahun 1968 s.d 1970-an di Amerika Serikat. Merujuk tahapan tersebut, maka gerakan Kiri Baru mahasiswa Indonesia pada setiap tahapnya sudah menunjukkan ketidaksinkronan. Pada tahap awal saja belum terlihat komitmen moral aktivis mahasiswa dalam memperjuangkan apa yang diyakininya sebagai kebenaran, mereka masih takut ancaman DO dari universitas. Terlebih pada mahasiswa awam, keprihatinan individu terhadap problem dan realitas sosial belum muncul, sebaliknya mereka justru terlena dengan borjuisme dan konsumerisme -suatu yang harus dilawan sebenarnya. Di kampus, perjuangan mereka juga belum sampai pada perwujudan mimbar bebas dan minim advokasi hak-hak mahasiswa. Melihat hal tersebut, bagaimana mungkin gerakan mahasiswa di Indonesia bisa diharapkan berperan lebih besar dalam pemberdayaan masyarakat dan kontrol pemerintah. Pada tahap penyatuan menjadi gerakan kolektif jelas hal tersebut bagaikan utopia belaka, karena bagaimanapun juga landasan, paradigma, orientasi, dan tujuan masing-masing individu berbeda -karena belum selesai pada tahap pertama- demikian juga pada level institusi. Contoh nyata adalah, antara PMII dan KAMMI apalagi Gema Pembebasan jelas berbeda -ini jika mengandaikan bahwa semua gerakan mahasiswa adalah gerakan Kiri Baru, karena beberapa persamaan di antara mereka. Perbedaan tersebutlah yang menjadikan mereka saling sikut dan mendahului terkadang dengan cara tidak fair (kotor) terutama pada level ketiga yaitu dalam perjuangan mencari kekuasaan politis. Inilah dilema gerakan mahasiswa pasca reformasi di Indonesia. Terlepas dari itu semua, Kiri Baru pada dasarnya merupakan perkembangan pemikiran Marxis di Barat, oleh karenanya mereka di dukung oleh teori-teori revolusioner dan gagasan mereka erat dengan pandangan-pandangan kiri Mazhab Frakfurt, terutama Herbert Marcuse dan Erich Fromm. Mereka menaruh harapan pada kelompok cendekiawan sebagai the agent of historical transformation. Itulah sebabnya mengapa mahasiswa sering dikatakan sebagai agent of social control dan social change serta oposisi permanen pemerintah. Di Barat radikalitas Kiri Baru mahasiswa dicirikan dengan, (1) ingin mengubah sistem universitas yang dalam pandangan mereka terkait sistem kaptalis modern yang manipulatif, mereka memprotes dosen liberal dan berbagai kegiatan kampus yang membawa style borjuis (party, festival, dan lainnya), (2) berhubungan dengan masyarakat sekitar yang diperjuangkan adalah pembebasan rakyat kecil yang menjadi korban struktur sosial yang tidak adil, dan (3) gerakan universal bagi kaum miskin tanpa memandang asal suku, agama, dan ras. Hal yang sama menjadi ciri gerakan mahasiswa di Indonesia, gerakan yang sampai ke masyarakat langsung lebih banyak didominasi oleh gerakan Kiri Baru dari NGO-NGO (Non Government Organization-Lembaga Swadaya Masyarakat [LSM]), lembaga independen lainnya, dan masyarakat kecil lainnya berbasis pada problem lokal. Di Indonesia hanya sedikit dari gerakan mahasiswa yang sudah menyentuh wilayah pembebasan rakyat kecil, paling banter mereka hanya sebatas memberikan sumbangan dan demo di jalan. Sedikit yang sudah terjun ke masyarakat, tetapi sayangnya merupakan organisasi underbow partai tertentu yang jelas mempunyai tujuan politis lebih besar. Rata-rata gerakan mahasiswa masih pada tahap menata kandangnya sendiri di kampus-kampus, ironisnya itu pun dengan setengah hati. Walaupun begitu sifat gerakan Kiri Baru tak hanya politis praktis, melainkan juga sosio-ekonomis. Pada tahun 1966 di Amerika gejala tersebut mewabah dalam bentuk the youth culture, counter culture, dan counter institution. Mereka menganggap bahwa kebudayaan modern telah membusukkan kemanusiaan melalui teknologisasi dan birokratisasi. Mereka cenderung setuju apa yang dikatakan oleh Jean Jacques Rousseau dengan semboyannya retournons a la nature (kembali ke alam/back to nature). Menuju keberhasilan perjuangannya, Nigel Young (1977) mensyaratkan lima kriteria, (1) melaksanakan aktivitas revolusioner terselubung dengan bersikap kritis terhadap norma dan definisi yang diberikan penguasa dan kelasnya. Mereka harus terus mencari kontra norma dan kontra definisi dari kenyataan sosial yang ada, (2) menempatkan perjuangan revolusioner ini pada kelompok masyarakat yang dilawan, (3) harus berkonfrontasi atas sistem nilai yang berlaku dengan mencari kontradiksinya dalam praktek hingga dapat membuka selubung kepentigan di baliknya, (4) harus menawarkan pengalaman hidup alternatif baik secara sosial maupun individual, dan (5) harus mengkonkretkan pandangan teoritis dan pengalaman hidup alternatif mereka dalam pranata dan proyek baru. Berdasar pada prasyarat tersebut, gerakan mahasiswa di Indonesia ternyata lebih bercirikan gerakan politis daripada ekonomi dan kultural. Beberapa aktivis yang mencoba merambah wilayah terakhir tersebut pun menemui kendala yang tidak sedikit, mulai dari lemahnya syahwat intelektual sampai minimnya pendanaan. Hal inilah yang menjadikan gerakan mahasiswa sebagai bagian gerakan Kiri Baru serasa tidak membumi dan belum mengena wilayah praksis masyarakat. Gerakan kultural Kiri Baru masih banyak yang sekadar wacana belaka. Sementara itu, Sargent (1981) mencoba mengidentifikasi gerakan Kiri Baru ini dalam tujuh nilai dasar, yaitu: (1) Praksis. Gerakan Kiri Baru lebih mementingkan praksis daripada teori. Pandangan ini dipengaruhi oleh Neo-Marxisme yang mengatakan bahwa praksis mendahului refleksi teoritis, dan praksis revolusioner harus diterangi teori. (2) Jati diri (authentic self), penakanan penemuan jati diri dalam gerakan ini dipengaruhi filsafat eksistensialisme yang dirintis Jean-Paul Sartre. Filsafat ini kritis terhadap norma dan mencanangkan kebebasan individu yang mendekati taraf absolut dengan mengutamakan kehendak individu. (3) Komunitas. mereka mengidamkan komunitas yang menjadi wahana interaksi secara efektif. Pemikiran tentang komunitas ini banyak diberikan oleh Erich Fromm setelah kritiknya terhadap modernitas sebagai masyarakat yang tak sehat. (4) Persamaan. Gagasan ini dipengaruhi pemikiran sosialis Marxis di Barat yang mengidealkan persamaan dalam pelbagai bidang, mulai dari ekonomi sampai penghapusan kelas sosial. (5) Kebebasan. Dalam lingkup pendidikan mereka memperjuangkan universitas bebas, sekolah bebas, perkumpulan mahasiswa bebas; dalam masyarakat mencita-citakan klinik bebas, toko bebas, dan lainnya. Pandangan ini dekat dengan gagasan anarkisme yang diusung Ivan Illich dalam pendidikan. (6) Demokrasi partisipatoris. Mereka mengarah pada demokrasi langsung ala Rousseau. (7) Revolusi. Dalam hal ini, Nigel Young mengatakan bahwa Kiri Baru merupakan perpaduan model revolusi Marxisme klasik, Leninisme, dan Maoisme yang diolah dengan gagasan Che Guevara, Fidel Castro, dan Debrai. Akhirnya revolusi menurut mereka identik dengan kekerasan semacam kudeta berdarah. Di lain tempat, gagasan Mazhab Frakfurt adalah anti kekerasan sebagaimana diusung Herbert Macuse. Dalam perjalanannya, gerakan revolusi kekerasan telah menjadi salah satu sebab memudarnya gerakan Kiri Baru di Barat. Memudarnya gerakan Kiri Baru di Barat pada awal 1970-an menurut D. Schon adalah karena tidak jelasnya bentuk gerakan. Aksi protes dan demonstrasi mereka sering tidak mendapat tanggapan penguasa, di samping itu mereka juga tidak mampu menggalang kekuatan karena struktur organisasi yang tidak jelas. Akibatnya Kiri Baru dikatakan lebih sebagai mood daripada movement, Nigel Young menyebutnya sebagai suatu revolusi kekanak-kanakan dari mahasiswa marah yang kekiri-kirian. Di Barat, gerakan ini semakin dikuasai emosi-emosi mereka; menjadi militan dan diresapi oleh kebutuhan akan utopia-utopia religius. Kecenderungan ini semakin memperkuat sayap kanan yang koservatif dan melemahkan Kiri Baru. Kini Kiri Baru di Amerika terpecah menjadi sekte berbau keagamaan yang menjadikannya tidak relevan dari arus Kiri Baru semula. Dengan sejarah yang berbeda, gerakan Kiri Baru pada mahasiswa Indonesia juga mengalami militansi dan mengarah pada gerakan utopia religius. Young mengidentifikasi bahwa krisis identitas dalam gerakan Kiri Baru di Barat terjadi faktor internal berupa keterbatasan ideologi, strategi, analisis, leadership; sedangkan faktor eksternal adalah karena belum dapat menempatkan diri dalam gerakan di dunia ketiga dan pengaruh pemikiran Marxisme-Leninisme. Di Indonesia masalah yang sama juga terjadi. Kiri Baru sekarang masih ada yang dapat mengembangkan dirinya dalam bentuk gerakan feminisme, gerakan antinuklir, gerakan ekologi, keadilan gender, yang caranya lebih disesuaikan dengan keadaan. Memudarnya gerakan Kiri Baru seolah meneguhkan tesis Francis Fukuyama dalam The End of History-nya bahwa sejarah telah berakhir dan pemenangnya adalah Kapitalis-Liberalis. Namun jika ditinjau lebih mendalam sebenarnya yang memudarkan gerakan ini adalah adanya problematika yang besar pada prinsip nilai mereka. Misal revolusi yang mengandaikan jebolnya tatanan lama dan menggantikannya dengan yang sama sekali baru adalah hal yang tak mungin. Pun dalam demokrasi partisipatoris hanya dapat diterapkan dalam masyarakat kecil, bukan masyarakat besar seperti sekarang. Problematika pada gerakan mahasiswa yang belum tuntas pada level filosofis tersebut berimbas pada gagapnya praksis gerakan di lapangan. Sekarang hanya ada satu dua letupan demonstrasi mahasiswa, itu pun tidak didengarkan pemerintah. Dan agaknya masyarakat sekarang mulai berani melakukan demonstrasi untuk menuntut hak-hak mereka dan mengkritisi kebijakan pemerintah. Inikah buah keberhasilan gerakan Kiri Baru yang di Indonesia dibawa oleh mahasiswa? Jika sudah berhasil buat apa gerakan mahasiswa? Ibarat lahan garapan mahasiswa dalam menyadarkan dan memberdayakan sudah selesai karena masyarakat sebagian besar sudah sadar, lalu hal apa lagi yang harus digarap mahasiswa? Jangan terlena dengan pernyataan ini, masih banyak hal yang belum selesai diperjuangkan. Apa yang disuarakan oleh masyarakat yang berani demonstrasi hanyalah pucuk dari gunung es problematika yang belum terlihat. Berpijak pada paradigma kritis, maka banyak hal yang harus disingkap selubung ideologis dan kepentingannya dalam masyarakat yang menindas. Berkaca pada problematika gerakan mahasiswa yang diletakkan sebagai varian gerakan Kiri Baru di atas, apa yang dapat kita lakukan sekarang? Tidak usah muluk-muluk, mungkin kita perlu diskusi santai dulu, sambil ngopi dan menikmati gorengan agar otak bisa cair dan mencari alternatif solusi pemecahan masalah. Kelemahan mahasiswa pada pemahaman istilah semisal Kanan, Kiri, Liberal, Pluralisme, Sekularisme, Demokrasi, Kritisisme, dan lainnya tampaknya harus digugat; biar semuanya mau berkaca dan membaca serta berdiskusi, agar tak saling hujat dan lebih bijak. Karena pada level mahasiswa bukankah tugas utamanya dalam konstruksi transformasi sosial adalah pada pembentukan paradigma berpikir dan character building(?

Mahasiswa Sebagai Agen Kontrol Sosial

Kontribusi mahasiswa dipentas perjuangan bangsa pada setiap lintasan sejarah hampir selalu menorehkan tinta emas. Peran mereka melepaskan Republik ini dari cengkraman penjajah asing 1945, menumbangnya rezim Soekarno 1966, serta jatuhnya kepemimpinan otoriter Soeharto 21 Mei 1998 telah menjadi saksi dan fakta sejarah bahwa mahasiswa negeri ini senatiasa konsisten dalam melakukan perubahan. Rekaman sejarah gerakan mahasiswa dengan warna heroiknya menjadi cermin ketulusan mereka yang selalu berpijak pada kerangka moral, bukan kerangka-kerangka lain yang bernuansakan kepentingan-kepentingan sesat. Sejarah pun membuktikan bahwa posisi ideal mahasiswa akan selalu bersentuhan dengan setiap detak jantung masyarakat yang ada di sekelilingnya. Hal tersebut bisa diketahui dari maraknya aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa, sehingga suara-suara mereka semakin nyaring terdengar dan berhasil mentranformasikan gerakannya dalam kerangka student movement ke social movement[1]. Mereka akan selalu menjadi pendobrak ketika telah terjadi kezaliman dan ketidakadilan. Begitu juga, mereka akan selalu menjadi kalangan pemberani, kritis, sedikit nakal dan urakan atau bahkan menjadi pemberang ketika di depan matanya terjadi pemerkosaan nilai-nilai kemanusiaan seorang individu atau segolongan masyarakat. Sikap yang diperlihatkan mahasiswa bagi Mochtar Lubis merupakan gambaran bahwa suara hati nurani mahasiswa memang berkumandang dalam hati rakyat (masyarakat)[2]. Dengan mengambil sikap yang demikian gerakan mahasiswa berhasil membangun opini strategis dan menjadi milik masyarakat luas yang mendambakan terciptanya reformasi dan juga suksesi di Indonesia. Melihat sikapnya yang menonjol inilah mahasiswa tak pernah lepas dari sorotan masyarakat yang ada di sekelilingnya. Idiom-idiom agent of change, agent of social control, dan agent moral force, adalah sebagian gelar yang disandangkan masyarakat kepada mahasiswa yang telah membuktikan eksistensinya sebagai pejuang reformasi[3]. Pemberian gelar-gelar tersebut kepada mahasiswa rasa-rasanya bukanlah sesuatu yang berlebihan, karena pada kenyataannya mereka mampu mengharumkan dan menghiasi suka dan duka perjuangan bangsa Indonesia. Beberapa gelar yang melekat pada mahasiswa memang tidak dapat dipisahkan, terlebih perannya sebagai agent of sosial control. Mahasiswa sebagai agen kontrol sosial diibaratkan seperti sebuah lonceng besar yang setiap waktu dapat berbunyi dengan sangat keras untuk mengingatkan dan menyadarkan pihak lain ketika mereka sedang lupa diri. Mereka harus terus memantau setiap proses perubahan yang sedang berjalan, agar arah dan tujuan perubahan yang dicita-citakan tidak melenceng dari tujuan awal. Dalam posisinya sebagai agen kontrol sosial, mahasiswa harus bertindak objektif, logis, rasional, dan proporsional agar dapat melakukan justifikasi obyektif terhadap setiap persoalan yang terjadi. Dengan mengambil posisi penengah/pengontrol situasi dan keinginan masyarakat, aktivitas mahasiswa dilihat pula sebagai salah satu ukuran kepuasan masyarakat[4]. Mahasiswa yang mengambil posisi kontrol sosial tentu saja harus mempunyai konsensus bersama mengenai format Indonesia masa depan untuk kemudian menggiring ke arah tersebut. Format ini akan menjadi semacam visi besar mahasiswa yang harus ditegaskan kepada seluruh pelaku politik. Dalam mainframe inilah mahasiswa bisa menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosialnya dengan menggunakan mass power dan institusional power yang dimilikinya[5]. Kontrol sosial yang dilakukan yakni berkaitan dengan segala hal yang terjadi di negeri Indonesia, terutama yang berhubungan tentang tindakan-tindakan/kebijakan-kebijakan yang diterapkan pemerintah dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan negara. Belakangan hubungan mahasiswa sebagai agen kontrol sosial dengan pemerintah telah menemukan suatu bentuk yang ideal. Menurut pengamat sosial-politik Adhie M. Massardi mengatakan bahwa mahasiswa diumpamakan sebagai angin dan pemerintah sebagai pohon[6]. Analogi ini mengilustrasikan bahwa ketika sebuah pohon terdapat ranting-ranting dan daun-daun kering yang sudah tidak mempunyai fungsi stategis, maka angin akan membersihkannya. Angin secara aktif juga membantu menebarkan serbuk-serbuk bunga yang ada pada pohon agar dapat memberikan manfaat bagi unsur yang ada di bawahnya (rakyat). Fungsi kontrol sosial dilakukan terhadap kinerja pemerintah beserta aparatur negara lainnya menjadi sangat penting dilakukan oleh mahasiswa agar tercipta suatu tatanan pemerintahan yang bersih dan terkontrol dengan baik oleh masyarakat[7]. Bagi mahasiswa fungsi kontrol yang ada di lembaga legislatif tidak berjalan secara maksimal dalam melakukan kontrol terhadap lembaga eksekutif sebagai penyelenggara negara yang dituntut melakukan perbaikan-perbaikan terhadap negara yang tidak kunjung menghasilkan sesuatu seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Di sisi lain mahasiswa dituntut untuk mampu menjelaskan kepada masyarakat tentang kebijakan pemerintah serta menggenjot kesadaran mereka agar mengerti dan memahami persoalan yang terjadi[8]. Bentuk pemberian penjelasan tersebut sebagai salah satu langkah konkret yang dilakukan mahasiswa dalam menumbuhkan sikap kritis kepada masyarakat, sehingga mereka dapat memahami dan bertindak atas permasalahan yang dihadapi. Aksi-aksi yang dilakukan mahasiswa sebagai bentuk kontrol sosial kepada pemerintah mulai dipahami oleh masyarakat. Mereka mengangap mahasiswa mampu menjadi lokomotif bagi kesadaran semua pihak. Walaupun terkadang tindakan/aksi yang dipertontonkan terlihat tidak sopan, tapi nyatanya cukup ampuh menciptakan perubahan besar dalam tatanan demokrasi di Indonesia. Sebagai seseorang yang dicap mempunyai intelektualitas yang baik, seharusnya mahasiswa mampu berpikir dan menciptakan hal yang baru[9]. Ini sangat dibutuhkan mengingat fungsinya sebagai agen kontrol sosial yang begitu penting. Cara yang bisa ditempuh yakni dengan melakukan dialog atau diskusi ketika menyikapi apa yang dianggap menjadi pekerjaan rumah suatu bangsa. Dialog atau diskusi tersebut merupakan pengembalian basis mahasiswa sebagai gerakan pemikir yang menghasilkan perubahan-perubahan ke arah perbaikan bukan sebaliknya. Dengan cara yang demikian fungsi kontrol sosial akan terlihat lebih baik, tidak hanya itu mahasiswa mampu menghimpun seluruh komponen bangsa dan segenap kekuatan reformasi pada derap langkah yang sama. Referensi: Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia, Kestabilan, Peta Kekuatan Politik , dan Pembangunan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), cet. 1. Fahrus Zaman Fadhly, Mahasiswa Menggugat, Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), cet 1. Haryo Setioko dalam Suara Mahasiswa, Suara Rakyat, (Bandung: PT Remaja Rosda, 1998), cet. 1. Mochtar Lubis, Tajuk-tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya, Seri 2: Korupsi dan Ekonomi, Pendidikan dan Generasi Muda, Hukum, ABRI (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1997), edisi 1. Muhammad Rifai, Soe Hok Gie: Biografi Sang Demonstran, (Yogyakarta: Garasi House of Book, 2010), cet 1. Pradipto Yoedhanegara, Desentralisasi Gerakan Mahasiswa, (Jakarta: DPP Aliansi Wartawan Indonesia, 2005), cet. 1.

Peran Mahasiswa Sebagai Moral Force

Berbagai aktifitas mahasiswa dalam kancah pergerakan nasional yang dilandasi oleh moral force telah tercatat dalam sejarah Indonesia. Banyak sekali kiprah mahasiswa yang telah menorehkan tinta emas bagi perjuangan bangsa. Dimulai dengan pergerakan Boedi Oetomo tahun 1908, kemudian dilanjutkan dengan Sumpah Pemuda tahun 1928, dan puncaknya pada tahun 1945 dimana mahasiswa pada masa itu memegang motor kendali bagi terlaksananya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Tak cukup sampai disitu, pasca proklamasi kemerdekaan mahasiswa masih tetap memegang idealismenya yang tinggi untuk tetap membela kepentingan rakyat. Hal itu dibuktikan dengan peristiwa jatuhnya orde lama pada tahun 1966. Mahasiswa terus melakukan tugasnya yaitu mengawasi jalannya pemerintahan yang berlangsung. Mereka tetap setia kepada bangsa dan negara. Mereka tidak akan rela jika tanah air mereka digadaikan. Mereka akan tetap berjuang walaupun jiwa-raga menjadi taruhannya. Tergulingnya rezim Orde Baru yang ditandai dengan mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada 21 Mei 1998 adalah salah satu bukti perjuangan mereka yang tak kenal menyerah dan tetap fanatik dengan gelar kemahasiswaannya serta jabatan sosial yang dipegangnya. Meskipun saat itu banyak elemen masyarakat pro reformasi yang terlibat aktif, namun sekali lagi mahasiswa masih menjadi ujung tombak bagi perjuangan bangsa. Secara moralitas mahasiswa harus mampu bersikap dan bertindak lebih baik dari yang lainnya karena mereka mempunyai latar belakang sebagai kaum intelektual, dimana mereka mengatakan yang benar itu adalah benar dengan penuh kejujuran, keberanian, dan rendah hati. Mahasiswa juga dituntut untuk peka terhadap lingkungan sekitarnya dan terbuka kepada siapa saja. Hal itu semata-mata karena mereka adalah kader-kader calon pemimpin bangsa di masa yang akan datang, yang memegang kendali negara di masa depan. Oleh karena itu mereka berhak untuk melakukan pengawasan terhadap pemerintah dan memberikan kritik atas setiap kebijakan yang dibuatnya. Sikap kritis itu merupakan wujud kepedulian mereka terhadap bangsa dan negaranya yang dilakukan dengan ikhlas dan dari hati nurani mereka, bukan atas keterpaksaan maupun intimidasi dari pihak luar. Segala sesuatu yang mereka perjuangkan adalah sesuatu yang mereka yakini adalah baik untuk kehidupan mereka di masa sekarang dan di masa yang akan datang. Hal tersebut berlaku dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan berbangsa dan bernegara. Sikap kritis mahasiswa tidak harus pada isu-isu nasional tapi dapat juga kritis pada isu-isu lokal seperti pencemaran lingkungan, kebijakan pemerintah setempat yang dirasa merugikan masyarakat kecil, tindakan sewenang-wenang pemerintah setempat pada masyarakat kecil, penyelewengan anggaran keuangan oleh pemerintah setempat, ataupun perihal lainnya. Sebagai pengusung moral force, mereka harus mengingatkan pemerintah jika pemerintah tersebut menyeleweng ataupun lupa pada tugas yang diembannya. Menurut salah seorang tokoh yaitu Arbi Sanit (1985), ada lima hal yang melatarbelakangi penyebab tumbuhnya kepekaan mahasiswa terhadap pelbagai persoalan yang ujungnya bertitik fokus pada perjuangan membela kepentingan rakyat, yaitu : Pertama, mahasiswa sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik memiliki persepektif atau pandangan yang cukup luas untuk dapat bergerak di semua lapisan masyarakat. Kedua, mahasiswa sebagai golongan yang cukup lama bergelut dengan dunia akademis dan telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara generasi muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik di kalangan mahasiswa, dan terjadi akulturasi sosial budaya tinggi di antara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasan, struktur ekonomi, dan memiliki keistimewaan tertentu dalam masyarakat sebagai kelompok elit di kalangan kaum muda. Kelima, mahasiswa rentan terlibat dalam pemikiran, perbincangan, dan penelitian pelbagai masalah yang timbul di tengah kerumunan masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karier sesuai dengan keahliannya. Bila kita amati dengan seksama, mahasiswa mempunyai kedudukan yang sangat unik yaitu sebagai kaum yang diterima oleh semua lapisan masyarakat dan mempunyai kemampuan intelektual yang tinggi. Keberadaan tersebut juga didukung oleh karakteristik mahasiswa yang rata-rata masih berusia muda, penuh semangat, dinamis dan tidak takut kehilangan sesuatu yang merusak idialisme dirinya. Karena itulah di lingkungannya mahasiswa sering dikatakan sebagai “intelektual sejati”. Ketika harus terjun ke masyarakat, mereka dapat dengan mudah berbaur, dan ketika harus berurusan dengan kaum birokrat, mereka mampu mengimbangi dengan kemampuan intelektual dan pendidikan yang telah diterimanya selama ini. Oleh sebab itu, mereka berperan strategis dalam kehidupan berbangsa yaitu sebagai penerus cita-cita bangsa. Kehidupan di kampus adalah miniatur kehidupan bangsa, dimana di dalamnya juga terdapat keanekaragaman sosial dan budaya. Mahasiswa telah mengarungi kehidupan kampus yang cukup kompleks tersebut. Dan mereka telah bersosialisasi dan mampu beradaptasi sehingga tetap eksis di lingkungannya. Mereka juga telah mendapatkan pendidikan akademis dan politik yang lebih dibandingkan dengan generasi muda yang lainnya sehingga menempatkan mereka pada golongan elit pemuda. Namun hal itu bukanlah suatu pekerjaan yang ringan, tapi suatu pekerjaan yang membutuhkan konsentrasi, loyalitas, pemikiran, dan kesabaran yang tinggi. Namun bukanlah keberhasilan yang akan didapat jika hanya mahasiswa yang berjuang di negeri ini. Mahasiswa tetap membutuhkan dukungan dari rakyat untuk menjalankan tugasnya, karena komponen terbesar negeri ini adalah rakyat, dan mahasiswa hanyalah sebuah komponen kecil. Perjuangannya akan sia-sia jika tak mendapat dukungan orang-orang yang dibelanya. Karenanya mahasiswa harus tetap mempertahankan kredibilitas dan legitimasi di mata rakyat agar rakyat selalu mendukung setiap langkah yang ditempuhnya. Harus diakui bahwa selama ini peran mahasiswa sebagai moral force hanya sebatas pendobrak yang selanjutnya diserahkan kepada kaum politisi. Mahasiswa seperti memberikan sebuah cek kosong yang dapat diisi seenaknya oleh kaum politisi sehingga mereka tidak mampu melakukan kontrol atas cek yang diberikannya. Jika mereka ingin berperan lebih dari itu, mereka harus menyiapkan suatu konsep pemikiran mereka sebagai isi dari cek yang diberikan agar mereka mampu melakukan kontrol pada kaum politisi tersebut. Namun yang diberikan bukanlah sekedar konsep biasa, tetapi sebuah konsep yang mampu menjawab seluruh kebutuhan dan tantangan bangsa. Dan saat ini yang dibutuhkan bangsa adalah sebuah konsep yang mampu membawa bangsa ini keluar dari keterpurukan krisis multidimensi dan intimidasi kekuasaan menuju ke suatu titik pencerahan. Namun, selama ini yang kita lihat, realita tidaklah seindah bayangan kita. Masih terlalu banyak mahasiswa yang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu akan tanggung jawabnya sebagai pengemban amanah rakyat. Pandangan tersebut, tentunya berimplikasi pada posisi dan peran mahasiswa, sehingga eksistensi mahasiswa di mata masyarakat memudar. Bila hal ini dibiarkan berlanjut, bukan tidak mungkin perjuangan mahasiswa di masa mendatang tak lain hanyalah sebuah tong kosong yang nyaring bunyinya, atau sekedar katak di dalam tempurung. Mahasiswa harus segera berbenah untuk menyolidkan dirinya, karena mahasiswa bukanlah milik segelintir orang yang peduli pada nasib bangsa, tapi lebih dari itu. Segala sesuatu yang besar adalah dimulai dari yang kecil. Adalah sebuah omong kosong jika dalam tubuh mahasiswa sendiri belum solid tapi sudah berkeinginan untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang lebih baik. Bangsa bukanlah hanya segelintir orang, tapi bangsa adalah terdiri dari banyak orang dengan beragam kondisi sosial dan budaya. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan mahasiswa adalah membenahi kondisi internal dalam dirinya, menyolidkan barisan, menyamakan visi, misi dan idealisme, serta menghimpun kekuatan. Baru setelah itu mereka dapat membuat impian untuk menjadikan bangsa menuju kehidupan yang lebih baik dan mewujudkannya dalam sebuah realita.

Senin, 30 Januari 2012

Organisasi Mahasiswa

Pada dasarnya organisasi mahasiswa merupakan suatu wadah yang dibentuk dengan tujuan untuk menampung dan menyalurkan aspirasi mahasiswa yang sarat akan idealis dan kreativitas. Dahulunya, alasan mengapa terbentuknya organisasi ini ditujukan hanya sekedar untuk memfasilitasi kegiatan – kegiatan yang dilaksanakan oleh mahasiswa dengan tujuan sebagai ajang keterampilan mahasiswa sehingga mahasiswa diharapkan tidak jemu dalam melaksanakan aktifitas rutin kampus yaitu perkuliahan. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, organisasi mahasiswa juga berperan sebagai wahana mahasiswa dalam menganalisis, mengkritisi, serta menyampaikan pandangan terhadap gejolak – gejolak sosial dan budaya yang tidak hanya dalam ruang lingkup kampus tetapi juga telah berkembang hingga ke lingkungan masyarakat secara umum. Tentu saja, perkembangan tersebut tidak lepas dari kematangan serta kedewasaan dari organisasi mahasiswa tersebut hingga saat ini mahasiswa ( melalui organisasi mahasiswa ) seringkali dikenal sebagai pembela rakyat yang teraniaya dan tidak dapat dipungkiri lagi bahwa mahasiswa memiliki kedekatan emosional dengan rakyat. Kilas Balik Organisasi Mahasiswa Organisasi Mahasiswa oleh Patriot Rieldo Perdana Mahasiswa diharapkan untuk mampu menjadi agent of change dari persoalan – persoalan yang melanda bangsa. Dapat kita saksikan bahwa mahasiswa telah dua kali mampu menggulingkan pemerintahan yang dianggap tidak sesuai dengan cita – cita bangsa. Mahasiswa mampu bersikap sensitif terhadap permasalahan – permasalahan tidak hanya dibidang sosial dan budaya saja, tetapi juga pada bidang – bidang ekonomi, politik, dan keamanan. Hal ini semakin memperkuat identitas mahasiswa sebagai elit masyarakat atau masyarakat ilmiah yang tidak pernah padam idealismenya. Organisasi Mahasiswa oleh Patriot Rieldo Perdana Melalui gerakan mahasiswa 1966 dan 1998, telah terbukti bahwa mahasiswa melalui organisasinya baik yang bersifat internal kampus maupun eksternal kampus mempunyai bargaing position tersendiri yang ikut serta dalam menentukan maju atau mundurnya negara dan bangsa. Pada tahun 1966, kita mengenal adanya DM UGM ( Dewan Mahasiswa Univ. Gadjah Mada ), DEMA ITB ( Dewan Mahasiswa Institut Teknologi Bandung ), dan Senat – senat Mahasiswa lainnya. Organisasi – organisasi tersebut akhirnya melebur menjadi satu menjadi KAMI ( Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia ) yang lahir dari gagasan mahasiswa Univ. Indonesia. KAMI merupakan suatu bentuk representasi mahasiswa Indonesia dalam menyuarakan protes terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh rezim Soekarno yang menjadi pemerintah pada saat itu. Kita mengenal protes tersebut sebagai TRITURA ( Tiga Tuntutan Rakyat ). Pada tahun 1998, Organisasi mahasiswa pun bangkit kembali dalam menanggapi persoalan bangsa yang berupa jatuhnya perekonomian negara dan timbulnya krisis multidimensi yang disebabkan oleh rezim Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Sekali lagi organisasi mahasiswa menunjukkan posisinya yang tak tergoyahkan sebagai pejuang bangsa yang selalu siap memperjuangkan tidak hanya aspirasi mahasiswa saja tetapi juga tetapi juga amanat penderitaan rakyat. Organisasi Mahasiswa oleh Patriot Rieldo Perdana Potret Organisasi Mahasiswa Hari Ini Organisasi Mahasiswa oleh Patriot Rieldo Perdana Saat ini organisasi mahasiswa cenderung lebih terstruktur. Bahkan dibeberapa universitas, organisasi mahasiswa telah berani mengusung suatu konsep pemerintahan mahasiswa dimana kita temukan adanya legislatif dan eksekutif mahasiswa sebagai pelaksana pemerintahaan tersebut. Disamping itu sebagai salah satu ciri adanya pemerintahan mahasiswa, Rektor sebagai penanggung jawab tertinggi memberikan wewenang penuh pada organisasi mahasiswa untuk menyelenggarakan aspek – aspek kemahasiswaan. Artinya, disini terjadi sharing administration antara Rektor dan Organisasi mahasiswa sehingga terjalin suatu tali koordinasi antara Rekor dan Organisasi mahasiswa. Dalam praktek penyelenggaraannya, ketika Rektor ingin membentuk suatu kebijakan di universitas maka Rektor melibatkan pandangan mahasiswa yang merupakan golongan mayoritas dikampus. Pandangan mahasiswa disampaikan melalui perwakilan – perwakilannya sehingga kebijakan yang nantinya dihasilkan akan bersifat adil bagi seluruh pihak. Dan begitu pula dalam hal ketika organisasi mahasiswa ingin membentuk kebijakan di tingkat mahasiswa, Rektor mempunyai hak memberikan pandangan tentang bagaimana sebaiknya kebijakan tersebut tanpa bermaksud untuk mengintervensi atau mendikte organisasi mahasiswa. Sebagi contoh, dalam konsepsi kemahasiswaan di Institut Teknologi Bandung disebutkan bahwa, “ Organisasi kemahasiswaan mengakui Rektor sebagai penanggung jawab tertinggi di lingkungan kampus tetapi organisasi kemahasiswaan tidak menghamba kepada Rektor.” Artinya disini ada suatu independensi yang berupa batasan – batasan teritorial yang diakui oleh kedua pihak. Organisasi Mahasiswa oleh Patriot Rieldo Perdana Hal diatas tentunya suatu hal yang sudah sewajarnya apabila kita mengaitkan dengan Keputusan Mendikbud No. 155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi dimana pasal 2 dijelaskan bahwa “Organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa.” Dari penggalan kalimat “ berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk mahasiswa “ tersirat bahwa organisasi mahasiswa mempunyai independensi yang terjamin oleh peraturan perundangan. Arti dari independensi organisasi mahasiswa ialah bahwa dalam menyelenggarakan kelembagaannya, organisasi mahasiswa harus terlepas dari sebagal bentuk intervensi baik berupa langsung maupun tak langsung dari jajaran universitas. Struktural universitas ( Rektor beserta jajarannya ) hanya berperan sebagai partner atau mitra dari organisasi mahasiswa. Jadi dengan adanya prinsip tersebut, kedaulatan yang berlaku ialah kedaulatan mahasiswa. Disamping itu, prinsip tersebut juga mengharuskan mahasiswa dan pihak – pihak yang terkait dengan organisasi mahasiswa mempraktek azaz demokrasi serta menghormati kedaulatan yang berada tangan mahasiswa tersebut. Prinsip tersebut lalu diperkuat dengan kalimat “memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa.” yang berarti bahwa organisasi mahasiswa mempunyai daerah tersendiri yang diakui secara hukumk dan harus dihormati oleh seluruh pihak. Dengan demikian kedudukan organisasi mahasiswa adalah kuat sesuai dengan peraturan perundangan. Organisasi Mahasiswa oleh Patriot Rieldo Perdana Dengan berlandaskan Keputusan Mendikbud yang telah disebutkan diatas, Pedoman Organisasi Mahasiswa setempat, dan aturan – aturan lainnya, organisasi mahasiswa dituntut untuk bersikap profesional serta mampu melahirkan kader – kader bangsa yang unggul, terampil,dan teruju sesuai dengan tuntutan zaman. Perkembangan organisasi mahasiswa ini tentu tidak akan lepas dari curahan perhatian seluruh civitas akademika sehingga dengan sebandingnya kualitas akademik dan kemahasiswaan maka akan meningkatkan pula kualitas suatu universitas di mata masyarakat.

Mahasiswa Sebagai Agent Of Change

Mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan pada hampir sepanjang tahun. Begitu banyaknya forum-forum diskusi yang diadakan, telah menghasilkan pula pelbagai tulisan, makalah, maupun buku-buku yang diterbitkan tentang hakikat, peranan, dan kepentingan gerakan mahasiswa dalam pergulatan politik di Indonesia. Bahkan, gerakan mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi yang dilakukan PEMERINTAH/PENGUASA. Terutama, ketika maraknya Korupsi, ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap hak-hak rakyat MAHASISWA SEBAGAI AGENT OF CHANGE oleh Syamsir Firdaus MW Kehadiran mahasiswa sebagai perpanjangan aspirasi rakyat memang amat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran politik rakyat dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi. Secara umum, gerakan advokasi yang dilakukan lebih ditujukan pada upaya penguatan posisi tawar rakyat maupun tuntutan-tuntutan atas konflik yang terjadi menjadi lebih signifikan. Dalam peran yang itu, motivasi gerakan mahasiswa lebih banyak mengacu pada panggilan nurani atas kepeduliannya terhadap lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak bagi perbaikan kualitas hidup bangsa. Dengan demikian, segala ragam bentuk gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa lebih merupakan kerangka koreksi/kontrol atas perilaku-perilaku politik (penguasa) yang dirasakan telah mengalami distorsi dan meninggalkan jauh komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup rakyat. Oleh sebab itu, peranan Mahasiswa menjadi begitu penting dan berarti tatkala berada di tengah masyarakat. Sangat begitu berartinya, hal ini terdapat dalam sejarah perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakkan negara di dunia telah mencatat bahwa perubahan sosial (social change) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan dipelopori oleh adanya gerakan mahasiswa, yang menyatakan bahwa mahasiswa adalah bagian dari agent of change. Walaupun memang tak dipungkiri, faktor pemihakan terhadap ideologi tertentu turut pula mewarnai aktifitas dan gerakan politik mahasiswa yang telah memberikan konstribusi yang tak kalah besar dari kekuatan politik lainnya.Pemihakan terhadap ideologi tertentu dalam gerakan mahasiswa memang tak bisa dihindari. Karenanya, pada diri mahasiswa terdapat sifat-sifat intelektualitas dalam berpikir dan berbuat secara kritis dan merdeka serta berani menyatakan kebenaran apa adanya. Maka, diskursus-diskursus kritis seputar konstelasi politik yang tengah terjadi kerap dilakukan sebagai sajian wajib yang mesti disuguhkan serta dianggap sebagai tradisi yang melekat pada gerakan mahasiswa. Potensi-potensi mahasiswa yang dapat dikualifikasikan sebagai modernizing agents. Praduga bahwa dalam kalangan mahasiswa kita semata-mata menemukan transforman sosial berupa label-label penuh amarah, sebenarnya harus diimbangi pula oleh kenyataan bahwa dalam gerakan mahasiswa terdapat pahlawan-pahlawan damai yang dalam kegiatan pengabdiannya terutama didorong oleh aspirasi-aspirasi murni dan semangat yang ikhlas. Kelompok ini bukan saja haus edukasi, akan tetapi berhasrat sekali untuk meneruskan dan menerapkan segera hasil edukasinya itu, sehingga pada gilirannya mereka itu sendiri berfungsi sebagai edukator-edukator Khas. Masa studi merupakan sarana penempaan diri yang telah merubah pikiran, sikap, dan persepsi dalam merumuskan kembali masalah-masalah yang terjadi di sekitar. Kemandekan suatu pandangan dan ideologi dalam pemecahan masalah yang terjadi membuat dan merangsang mahasiswa untuk mencari alternatif ideologi lain yang secara empiris dianggap berhasil. Maka tak jarang, kajian-kajian kritis yang kerap dilakukan lewat pengujian terhadap pendekatan ideologi atau metodologis tertentu yang diminati. Disaat, mereka menemukan kebijakan publik yang dilansir penguasa tidak sepenuhnya akomodatif dengan keinginan rakyat kebanyakan, bagi mahasiswa yang committed dengan mata hatinya, mereka akan merasa "terpanggil" sehingga terangsang untuk bergerak. Adanya kedekatan dengan rakyat dan juga kekauatan massif mereka menyebabkan gerakan mahasiswa bisa bergerak cepat berkat adanya jaringan komunikasi antar mereka yang aktif. Oleh karena itu, sejarah telah mencatat peranan yang amat besar yang dilakukan gerakan mahasiswa selaku prime mover dan agent of change terjadinya perubahan politik suatu negara.

Pragmatisme Vs Kecanggihan IT

Ide dasar pemikiran pragmatisme mulai dicetuskan oleh Pierce dan Kant pada sekitar abad 18-an, dewasa ini pemikiran pragmatis mulai mempengaruhi pola pikir manusia di hampir seluruh belahan dunia. Pada dasarnya pemikiran pragmatis mendasarkan pemikiran dan pandangan kepada sesuatu yang praktis dan punya nilai guna. Secara gampang bisa didefinisikan bahwa pragmatisme adalah suatu karakter dimana seseorang lebih menginginkan mencapai sesuatu hasil dengan cara-cara praktis, simple, instant, dan efisien, tapi tepat guna. Sesuatu yang instant dan praktis erat sekali kaitannya dengan teknologi canggih, terlebih lagi pada era dimana orang-orang disibukkan dengan berbagai macam hal dan menuntut mereka melakukan segala sesuatunya dengan cepat dan praktis. Pragmatisme vs Kecanggihan Tekhnologi oleh Asmal Wafa Kecanggihan teknologi sekarang ini sedikit banyak memberikan pengaruh besar pada ke-eksis-an pragmatisme itu sendiri, semisal saja; banyak sekali mahasiswa yang ketika mengerjakan tugasnya merasa sangat terbantu dengan adanya internet, begitu browsing langsung dapat referensi yang dibutuhkan. Tapi ternyata, dibalik kecanggihan teknologi dan pemikiran pragmatis yang memang praktis itu, banyak sekali hal yang mungkin ditimbulkan oleh pengaruh pragmatisme. Jelas, mahasiswa sebagai pelajar dituntut untuk selalu berperilaku ilmiah. Akan tetapi pada kenyataannya, pemikiran pragmatis tidak pernah sejalan dan disatukan dengan perilaku ilmiah itu. terlebih lagi, perilaku ilmiah memang tidak bisa digeneralisasikan pada seluruh mahasiswa. Akibat yang ditimbulkan ternyata lebih berbahaya dari manfaat yang mungkin didapat. Pragmatisme vs Kecanggihan Tekhnologi oleh Asmal Wafa Seseorang dengan pemikiran pragmatis akan cenderung lebih menyukai hal-hal yang mudah dan tidak ribet, ini jelas sangat bertentangan dengan perilaku ilmiah yang menuntut seseorang untuk berperilaku secara sistematis dan terstruktur dengan runtun. Sehingga kemungkinan-kemungkinan yang timbul adalah seseorang akan lebih memilih jalan tengah dalam setiap penyelesaian masalah yang timbul, contoh konritnya ketika seorang mahasiswa dihadapkan pada soal ujian yang seharusnya mudah untuk dikerjakan, sementara pikirannya sudah dipenuhi dengan pemikiran pragmatis tanpa menempuh urutan yang runtun- yakni dengan mepelajari materi-, potong kompas dengan menyimpan kertas “ajaib” yang bisa disembunyikan dan dibuka kapanpun jadi pilihan yang praktis, dan benar saja “kertas ajaib” nan prakstis itu punya nilai guna yang tinggi buat kelancaran akademisnya, setidak untuk tidak dapat status “TIDAK LULUS”. Tidak hanya dalam hal ujian, membuat suatu karya ilmiah saja terkadang mahasiswa sangat kreatif dengan hanya sekedar copy-paste hak cipta orang lain yang kebetulan ia temukan saat browsing. Yang lebih mencengangkan lagi, orang bisa saja memanfaatkan si candu “kepraktisan” alias mahasiswa dengan pikiran pragmatis – sebagai bahan bisnis pembuat skripsi. Bukankah orang dengan jalas pikiran prakstis akan menyukai hal yang simple dan tidak repot? Terutama bagi yang mampu- tinggal bayar saja, mahasiswa langsung terima jadi. Bisnis ini pun sudah tidak menjadi bisnis langka- menengok ada campur tangan dosen sendiri didalamnya. Pragmatisme vs Kecanggihan Tekhnologi oleh Asmal Wafa Ternyata lebih dari yang kita duga, dibalik kebaikannya, kecanggihan teknologi mampu dengan rapi menyembunyikan efek buruk bagi kaum pemikir pragmatis. Segalanya bisa dihadirkan dengan mudah, efektif dan efisien. Namun kenyataan yang ada membuat kita-para mahasiswa harus mampu lebih kritis menghadapi berkembangnya pemikiran pragmatis. Pemikiran ini hadir bukan untuk kita hentikan, karena pada kenyataannya pragmatisme memang tak dapat dihapuskan mengingat sifat manusia yang memang suka akan kemudahan, akan tetapi pragmatisme patut kita waspadai dan diatasi. Tentu saja, dikerenakan pragmatisme yang merongrong otak manusia dapat menghentikan dan membuat otak kita “malas” bekerja, ini terjadi karena kita salah mengaplikasikan dasar pragmatisme itu sendiri. Pragmatisme vs Kecanggihan Tekhnologi oleh Asmal Wafa Sebagai seorang manusia yang dibekali Tuhan dengan kesempurnaan otak untuk berfikir, terutama bagi para mahasiswa –yang tergolong sebagai orang dewasa- sudah menjadi kewajiban kita untuk dapat membedakan baik dan buruk efek dari suatu benda. Pragmatisme bukanlah suatu hal buruk yang harus dihindari, tapi dia juga bukan hal baik yang patut kita ikuti dengan semena-mena. Harus ada keseimbangan dalam media berfikir kita untuk melihat bagaimana efek pragmatisme kalau dia terlanjur mengakar pada jaringan pikir kita. Pragmatisme vs Kecanggihan Tekhnologi oleh Asmal Wafa Nyatanya, masih sangat sulit sekali bagi para mahasiswa- yang sudah bukan siswa- untuk menyelaraskan antara pemikiran praktis dengan potong kompas. Semacam inikah wujud pendidikan kita sekarang? Menyukai cara yang mudah dan praktis, dan cenderung tak berproses. Segala sesuatu yang tak memalui proses, hasilnya juga tidak akan maksimal. Tidak ada yang instant didunia ini, meskipun kecanggihan teknologi ada untuk membuat manusia lebih mudah menjalani hidupnya, manusia tetap harus menggunakan otaknya untuk berfikir- bukan sekedar “ongkang-ongkang”-. Kecanggihan teknologi ada untuk kita manfaatkan, pengetahuan ada untuk kita saring dan kita proses dalam otak kita, jadi tidak pernah ada alasan bagi kita untuk mendasarkan pikiran kita pada pemikiran pragmatis- meskipun pemikiran itu tidak pernah bisa kita elakkan juga.

Organisasi Vs IPK

Mahasiswa bukanlah seorang siswa lagi. Mahasiswa dituntut untuk lebih bisa kreatif, mandiri dan bertanggung jawab. Mahasiswa tidak lagi memakai seragam Seperti siswa yang akan berangkat sekolah, tapi meskipun para mahasiswa tidak memakai seragam, ada beberapa aturan yang harus dipatuhi oleh para mahasiswa dalam bersikap, berpakaian dan berinteraksi selama berada di lingkungan kampus. Di kampus selain mengikuti kuliah, ada juga beberapa organisasi yang bisa diikuti oleh para mahasiswa. Diluar organisasi, ada pula yang menjadi tolak ukur untuk keseriusan para mahasiswa dalam mengikuti kegiatan perkuliahan, yaitu IPK. Lantas mana yang lebih penting? Organisasi atau IPK? Organisasi merupakan tempat berkumpulnya para mahasiwa. Banyak organisasi yang bisa diikuti oleh para mahasiswa di kampusnya sesuai dengan minat para mahasiswa. Ada organisasi yang memang bersifat serius (maksudnya untuk menangani permasalahan yang serius dan resmi, Seperti BEM) adapula yang sifatnya hanya ekstrakulikuler contohnya: resimen mahasiswa, MAPALA, Racana, dll. Pada dasarnya semua organisasi sama saja, sama-sama sarana untuk kumpul-kumpul sesama mahasiswa. Banyak nilai positif dan nilai negative yang bisa diambil dari sebuah organisasi. Positifnya bisa saling bertukar pikiran antar sesama mahasiswa, melatih kepercayaan diri, meningkatkan solidaritas, memupuk rasa tanggung jawab dan dengan berorganisasi, maka para mahasiswa akan mampu dan lebih siap untuk menghadapi kehidupan yang sebenarnya, kehidupan setelah lulus dan berhadapan dengan masyarakat. Karena seorang sarjana dianggap sebagai seorang yang pandai di atas warga biasa, jadi apa jadinya jika seorang sarjana tak berani untuk mengemukakan pendapat di sebuah rapat di daerahnya? Atau bahkan punya pendapat saja tidak, maka dari sinilah dapat kita temukan pentingnya berorganisasi, karena di dalam sebuah organisasi tentu saja kita berinteraksi dengan orang banyak dengan pribadi dan karakter yang berbeda-beda. Tapi, ada juga nilai negative dari sebuah organisasi, terkadang sebagian orang mengikuti sebuah organisasi hanya untuk mengisi waktu luang dan hanya ingin bersenang-senang dengan mahasiswa yang lain. Bagaimana dengan IPK? IPK merupakan dan terkadang memang dijadikan sebagai tolak ukur untuk menilai kemampuan mahasiswa dan juga kompetensi yang dimiliki oleh para mahasiswa. Tapi, belum tentu IPK benar-benar merupakan tolak ukur yang tepat, karena nilai yang tinggi belum tentu mencerminkan kepribadian yang tinggi pula. Mengapa? Karena IPK tinggi hanya pencerminan dari kecerdasan intelegensia (IQ) saja padahal selain IQ ada juga kecerdasan lain yang merupakan factor penentu suksesnya seseorang yaitu kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi mempunyai peranan yang besar untuk menentukan kesuksesan seseorang, karena pribadi yang tangguh dan pantang menyerah dalam menghadapi beberapa cobaan itu lebih baik daripada seorang jenius yang selalu menyerah dalam menghadapi beberapa kegagalan. Lalu, manakah yang lebih penting? IPK atau organisasi? Kedua-duanya sama pentingnya karena ternyata keduanya merupakan 2faktor yang sama-sama saling membutuhkan kerjasama yang baik antar kedua factor tersebut. Contohnya, ada seorang mahasiswa yang sangat bahkan hyper aktif dalam berorganisasi, Sehingga sering bolos dalam mengikuti perkuliahan, dalam belajar untuk menghadapi ujian, iapun kurang serius karena ia terlalu sibuk untuk mengurusi berbagai masalah yang tinbul dalam berorganisasi, Sehingga hasilnya ialah IPnya anjlok, tapi meskipun IPK nya anjlok ia tertap mempunyai kelebihan yaitu nilai-nilsai sosial yang ia dapatkasn selama berorganisasi. Bagaimana dengan kisah mahasiswa lain yang bahkan tidak mengikuti organisasi satupun, tapi ia rajin mengikuti perkuliahan dan mempersiapkan diri dengan sangat baik menjelang Ujian, hasilnya dia memperoleh IPK sesuai dengan jerih payahnya selama ini, tapi di sisi lain ia kurang bersosialisasi dengan teman-teman di luar “gang”nya, jadi ia kadang canggung untuk berinteraksi dengan orang lain, bahkan mungkin tidak bisa. Sehingga, percaya dirinya kurang dan ia tak mampu atau malu untuk tampil di muka umum, padahal sebenarnya ia berkompeten dan mampu untuk tampil di muka umum, tapi hanya karena kurang percaya diri maka ia tak mampu untuk menampilkan dirinya di muka umum. Jadi, kesimpulannya IPK dan organisasi itu sama pentingnya asalkan dijalankan secara selaras, serasi dan seimbang. Karena apa artinya nilai yang baik tanpa adanya kemampuan untuk bisa menunjukannya di hadapan orang lain? Tanpa adanya maksud riya, pamer atau sombong tapi hanya dengan maksud untuk menunjukan eksistensi diri. Dan apa pula artinya bila kita mampu dan berani berbicara di depan banyak orang tanpa adanya dasar dan alasan yang jelas, Sehingga bisa saja orang lain menertawakan kita. So, berorganisasi itu penting bahkan sangat penting karena memiliki dampak yang baik untuk diri kita, asalkan kita tetap serius dalam mengikuti perkuliahan dan mampu membagi waktu dengan baik, jadi yang terpenting adalah time management yang seimbang antara waktu berorganisasi dan waktu kuliah, Sehingga kita akan memperoleh hasil yang baik dan sangat bermanfaat untuk masa depan kita nantinya.

PEndidikan Bukan Barang Dagangan

Pemerintah berencana untuk memprivatisasi perguruan-perguruan tinggi di Indonesia, dimulai dengan pem-BHMN-an beberapa kampus ternama di Indonesia, pem-BHMN-an yang selanjutnya akan dinaikkan kembali statusnya menjadi BHP atau Badan Hukum Pendidikan. Undang-undangmengenai BHP ini masih digodok di DPR untuk mencari format yang bisa diterima berbagai pihak karena banyak pihak yang kontra atau menolak BHMN ataupun BHP. Rencana ini harus ditanggapi secara serius, karena bakal mau tidak mau kita akan terkena dampaknya. Sudahkah kita memikirkannya? Atau jangan-jangan sama sekali belum tahu? Tentu kewajiban bagi Rektorat untuk mensosialisasikan hal tersebut kepada seluruh sivitas akademika, dan melakukan dialog yang melibatkan mahasiswa. Kita tidak bisa diam berpangku tangan membiarkan orang-orang menentukan hidup kita, yang sangat mungkin mengandung maksud-maksud terselubung untuk kepentingan golongannya sendiri. Pendidikan sebagai sebuah pranata sosial berfungsi melestarikan kebudayaan antargenerasi. Kebudayaan, dengan sendirinya merupakan produk interaksi sosial, di mana di dalamnya saling jalin faktor-faktor ekonomi dan politik. Masyarakat bukan sebuah benda mati yang inert, tetapi sistem yang dinamik. Kampus dan sekolah berada di tengah masyarakat yang bergejolak (kadang evolusioner, namun tak jarang muncul dalam bentuk letupan-letupan revolusi). Maka pendidikan tidak mungkin lari dari persoalan-persoalan sosial, betapapun diklaim bahwa warga kampus memiliki keunikannya sendiri sebagai bagian dari komunitas intelektual. Kebudayaan yang hidup di kampus tidak bisa dilepaskan dari kebudayaan yang menghegemoni (mendominasi paling kuat) masyarakat. Artinya, sistem pendidikan yang diberlakukan oleh suatu rejim mencerminkan tipe kebudayaan yang ingin dilestarikan oleh rejim sebagai otoritas hegemoni. Di sinilah kita bisa memahami letak rencana privatisasi ITB sebagai sebuah keputusan politik yang dilatari oleh cara pandang dan kepentingan tertentu. Apa kepentingan tersebut? Tidak lain adalah industrialisasi, motor pembangunan nasional yang lebih sering menguntungkan kalangan pemilik modal (kapital) ketimbang rakyat kebanyakan. Untuk mengamankan kepentingan para pemodal, pemerintah menggunakan alat-alat rejim, mulai dari parlemen, peradilan (yudikatif), regulasi-regulasi pemerintah, polisi, tentara, lembaga-lembaga agama dan termasuk lembaga pendidikan. Maka jangan heran mengapa pemerintah berusaha sekuat mungkin mencegah aksi-aksi mahasiswa untuk menolak RUU BHP, karena itu berarti mengancam kepentingan kapitalis yang selama ini menghidupi napas penguasa. Demo-demo mahasiswa yang berujung tindakan brutal polisi dan tentara menunjukkan upaya rejim membendung radikalisasi massa rakyat dan bentuk anti demokrasi rezimSBY-Kalla. Bisa dikatakan setiap rejim menyimpan ketakutan terhadap aksi radikal mahasiswa,Mahasiswa berpotensi membawa kesadaran politik kepada rakyat melalui aksi-aksi massa. Untuk itulah rejim berusaha membatasi gerak-gerik mahasiswa di dalam kampus (melalui aparat pendidikan) dan secara sistemik dengan kebijakan pendidikan. Pengetatan kurikulum menjadi 140-160 SKS bisa dibaca sebagai upaya untuk menjinakkan mahasiswa sehingga waktunya tersedot untuk akademis saja. Mahasiswa dipacu untuk cepat-cepat lulus. Pemerintah mempunyai dua keuntungan: Pertama, mahasiswa tidak bisa banyak tingkah; kedua, lulusan perguruan tinggi makin cepat terserap ke dalam sistem industri. Nah, di industri apa sih posisi kita? Pemilik pabrik? Manajer? Satu dua mungkin iya, tapi mayoritas hanya akan menjadi buruh-buruh terampil belaka, di mana hasil kerja dan kecakapan kita diupah dengan angka-angka yang tidak bisa kita tentukan sendiri. Pendidikan tidak pernah steril dari motif-motif politik dan ekonomi, pendidikan dijadikan alat legitimasi kekuasaan oleh rezim yang berkuasa. Privatisasi Berkedok Otonomi bukan Solusi Perguruan-perguruan tinggi di Indonesia sendiri dikenal lemah kecakapan akademiknya. PTN/PTS tidak mampu menghasilkan karya-karya penelitian bermutu yang berguna bagi pengembangan industri dalam negeri. Jalan pintasnya, industri membeli teknologi dari negara maju, yang berarti ketergantungan terhadap kekuatan modal internasional. Akibatnya PTN/PTS pun tidak mempunyai daya tawar sama sekali terhadap industri dan terpaksa menyesuaikan diri dengan kepentingan industri, dengan memfungsikan dirinya semata-mata pemasok tenaga kerja melimpah dan murah. Pemerintah mengekalkan hegemoni sistem itu melalui kewenangan legalnya untuk memaksakan kebijakan pendidikan. Dengan Privatisasi kampus dengan wujud BHP-nya berarti pemerintah akan mengurangi anggaran pendidikan. Kampus harus membiayai dirinya sendiri. Alasannya, banyak perguruan tinggi yang sudah maju hingga patut dilepaskan pemerintah. Selama kontrol dari mahasiswa dan masyarakat tidak berfungsi, tidak tertutup kemungkinan kampus akan menaikkan SPP tanpa banyak protes. Kurikulum dan peraturan-peraturan lainnya akan semakin otoriter dipaksakan kepada mahasiswa. Intervensi pemodal ke dalam kampus makin besar, didesak oleh kebutuhan kampus untuk membiayai dirinya. Kampus akan semakin jauh dari fungsinya sebagai lembaga pendidikan, berubah menjadi industri pendidikan yang komersial, semata-mata berfungsi sebagai pabrik bagi “bahan baku” tenaga kerja yang terampil. Privatisasi tidak sejalan dengan otonomisasi kampus. Dalam privatisasi, mahasiswa sama sekali diabaikan. Hak mahasiswa untuk mengorganisasi diri tidak disinggung-singgung. Hubungan antara mahasiswa dan aparat pendidikan tidak dijelaskan. Padahal, justru mahasiswa yang paling terkena dampak kebijakan tersebut, baik selama kuliah maupun setelah bekerja. Sangat mendesak penguatan daya tawar mahasiswa terhadap Rektorat melalui organisasi mahasiswa yang solid dan mengakar ke bawah, dalam arti betul-betul konsisten memperjuangkan tuntutan mahasiswa sehingga dapat menarik simpati massa mahasiswa. Perjuangan untuk kepentingan akademik ini tidak bisa dipisahkan dari perjuangan dalam spektrum yang lebih luas, yaitu menentang sistem pendidikan kapitalistik yang tidak memanusiakan. Pendidikan yang hanya menghasilkan sekrup-sekrup mesin industrialisasi untuk memupuk kekayaan kalangan kapitalis. Pendidikan macam ini tidak bisa dibiarkan menelan kita. Kontrol dari mahasiswa dan masyarakat luas harus dihidupkan. Privatisasi tidak boleh dilakukan sebelum prasyarat-prasyarat partisipasi politik tersebut tumbuh. Kebebasan berorganisasi bagi mahasiswa (Serikat/Liga mahasiswa) dan staf pendidikan (serikat buruh pendidikan), kontrol mahasiswa dan kedewasaan dari kalangan penentu kebijakan pendidikan sendiri. Prasyarat tersebut hanya bisa dihidupkan dengan mengajukan tuntutan-tuntutan seperti kesamaan kesempatan bagi semua lapisan masyarakat untuk memperoleh pendidikan tinggi (termasuk anak-anak buruh, nelayan, petani, dsb) yang selama ini didominasi lapisan menengah, dan penurunan biaya pendidikan. Idealnya, pendidikan gratis. Dengan kekayaan alam yang melimpah, sudah sewajarnya masyarakat memperoleh hak berupa fasilitas pendidikan modern dan murah (gratis!). Tuntutan pembebasan biaya pendidikan tidak lain adalah bagian dari perjuangan menciptakan tatanan demokrasi sosial (di dalamnya tercakup demokrasi politik, ekonomi dan kebudayaan). UU BHP semakin membuat hancur pendidikan di Indonesia, UU BHP yang aslinya adalah Komersialisasi pendidikan di Indonesia tidak hanaya menghancurkan pendidikan tetapi membawa Negara kearah jurang kehancuran. Pendidikan dan kesehatan adalah hak dasar setiap warga Negara Indonesia yang harus dipenuhi oleh pemerintah, dengan adanya UU BHP maka pemerintah akan melepas tanggungjawabnya membiayai pendidikan padahal telah jelas diatur dalam tata Negara kita atau UUD 1945 bahwa pendidikan adalah tanggung jawab Negara untuk membiayainya yang diambilkan dari APBN atau APBD minimal 20%. Bukan Privatisasi atau komersialisasi pendidikan yang dibutuhka rakyat, tetapi pendidikan yang GRATIS untuk rakyat. Mari kita serukan kepada pemerintah untuk mewujudkan pendidikan yang ilmiah, demokratis dan mengabdi kepada rakyat.

Mahasiswa dan Sangkarnya

Sungguh menarik memang jika kita kembali memperbincangkan persoalan kampus dan dinamikannya yang sungguh dinamis, kampus merupakan tempat pengembangan diri yang memberikan perubahan pikiran, sikap, dan pencerahan, tempat mahasiswa lahir menjadi kaum pemikir bebas yang tercerah. Dengan sifat keintelektualnya, mahasiswa lahir dan tumbuh menjadi entitas (model) yang memiliki paradigma ilmiah dalam memandang persoalan kebangsaan dan kemasyarakatan. Ciri dan gaya mahasiswa terletak pada ide atau gagasan yang luhur dalam menawarkan solusi atas persoalan-persoalan yang ada. Pijakan ini menjadi sangat relevan dengan nuansa kampus yang mengutamakan ilmu dalam memahami substansi dan pokok persoalan apapun. Berbicara tentang mahasiswa dan aktivitasnya sudah menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan pada hampir sepanjang tahun. Berbagai forum diskusi yang diselenggarakan, menghasilkan berbagai ragam tulisan, makalah, maupun buku-buku yang diterbitkan tentang hakikat, peranan, dan kepentingan gerakan mahasiswa dalam pergulatan pemikiran. Kampus merupakan tempat pengembangan diri yang memberikan perubahan pikiran, sikap, persepsi dan pencerahan, tempat lahirnya mahasiswa sebagai seorang yang lain (dalam artian positif). Dengan kata lain, kampus merupakan laboratorium besar tempat melahirkan beragam ide, pemikiran, pengembangan wawasan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk peranan sosial individu mahasiswa tersebut dalam kehidupan kemasyarakatan. Menjadi agen bagi perubahan sosial, budaya, paradigma, ekonomi dan politik masyarakat secara luas. Dengan demikian, kepentingan masyarakat menjadi barometer utama bagi keberhasilan suatu perubahan sosial yang dilakukan oleh agen (mahasiswa tersebut). Mahasiswa dituntut tidak hanya berhasil membawa ijazah, tetapi juga diharuskan membawa perubahan dari ilmu dan pengalamannya selama berada dalam laboratorium kampus. Konsep perlawanan merupakan suatu hal yang lazim bagi mahasiswa. Perlawanan yang dilakukan bisa muncul dalam bentuk yang beragam, tentu saja dalam satu visi yang besar, untuk kepentingan dan pembelaan bagi masyarakat umum. Isu yang ditangkappun terdiri dari beragam persoalan, mulai dari persoalan sosial ekonomi, politik, budaya, etika, agama dan lain sebagainya. Aksi demontrasi, aksi pendampingan, memberikan alternatif pengetahuan dan pola pikir, memberikan penyuluhan, dan beragam cara lagi yang dapat dilakukan oleh agen (seorang mahasiswa), baik sebagai sebuah kelompok sosial maupun sebagai individu yang tergabung dalam kelompok-kelompok sosial lainnya. Belakangan, demontrasi seolah menjadi trend utama bagi suatu perlawanan menuju perubahan bagi mahasiswa, padahal demontrasi merupakan salah satu saja diantara banyak cara yang dapat dilakukan untuk membawa kehidupan masyarakat kerah yang lebih baik. Upaya perlawanan dalam bentuk demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa merupakan gerakan moral. Seperti yang diakui oleh Arief Budiman yang menilai bahwa sebenarnya sikap moral mahasiswa lahir dari karakteristiknya sendiri. Mahasiswa sering menekankan peranannya sebagai “KEKUATAN MORAL” dan bukan “KEKUATAN POLITIK”. Aksi protes yang dilancarkan mahasiswa seperti demonstrasi dijalan dinilai sebagai sebuah kekuatan moral karena mahasiswa bertindak tidak seperti organisasi sosial politik yang memiliki kepentingan praktis. Konsep gerakan moral bagi gerakan mahasiswa pada dasarnya adalah sebuah konsep yang menganggap gerakan mahasiswa hanyalah merupakan kekuatan pendobrak, ketika terjadi kemacetan dalam sistem. Setelah pendobrakan dilakukan maka tugas kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam hal ini partai-partai atau organisasi politik yang lebih mapan melakukan pembenahan. TREND DUNIA GLOBAL Eksistensi dan posisi gerakan mahasiswa dihadapkan pada sebuah realitas dunia global yang tidak bisa dihindarkan. Arus globalisasi telah menyentuh berbagai sendi kehidupan manusia didunia. Cepatnya arus globalisasi menurut William K. Tabb (2003) mampu membentuk rezim perdagangan dan keuangan dunia serta mendefinisikan ulang kesadaran pada tingkat yang paling dekat dan lokal, mempengaruhi bagaimana orang memandang dirinya, ruang gerak anak-anak mereka dan entitas mereka sehingga mengalami perubahan akibat kekuatan globalisasi ini. Apakah gerakan mahasiswa menolaknya secara radikal atau hanya cukup memahaminya atau mempersiapkan diri untuk ikut berkompetensi dan memposisikan diri sejajar dengan mereka secara wajar?. Gesekan dunia global menjadi trend dalam kondisi saat ini, karenanya seluruh lapisan masyarakat perlu memahami secara benar tentang realitas-realitas dunia yang sedang mengalami pergolakan dalam berbagai unsur kehidupan. Melihat trend (Trend Wacting) yang terjadi dalam pergeseran dunia global adalah kerangka dalam memahami apa yang sedang terjadi hari ini, dan apa yang akan kita lakukan dimasa-masa yang akan datang. Tren yang terjadi hari ini adalah dominasi kekuatan global yang tidak bisa dihindarkan dalam ranah kesadaran manusia. DARI MEMBACA KE MENGANALISA Gerakan perlawanan mahasiswa sesungguhnya merupakan gerakan perlawanan yang dinamis. Mahasiswa setiap hari bergulat dengan keilmuan, ironis jika gerakan mahasiswa justru monoton kalau tidak mau dikatakan sebagai sebuah kebekuan. Karenanya tradisi-tradisi yang ada diantaranya tradisi membaca harus diimbangi dengan tradisi menganalisa berbagai aspek persoalan dengan berpikir logis dan mendalam. Tipe masyarakat yamg menjadi miniatur lahirnya peradaban manusia maju dan sejarah adalah tradisi keilmuan. Maju karena masyarakat seperti ini menempatkan ilmu sebagai sinar dalam kehidupan. Mensejarah, karena mereka membuat sebuah kejutan bagi lahirnya paradigma baru bagi terciptanya masyarakat yang ilmiah (knowledge society). Dimensi pembangunan gerakan mahasiswa agar ilmiah diawali dengan konsep membaca, sesuatu yang berhubungan bukan hanya dengan membaca teks dan naskah tetapi lebih dari itu, menelaah, meriset, merenungkan , bereksperimen, berkontemplasi. Objeknya bisa berupa beragam persoalan yang ada dimasyarakat. Mulai dari persoalan sosial, ekonomi, politik, budaya dan bahkan persoalan etika dan moralitas. Persoalan menganalisis menjadi penting ketika seseorang ingin menggali kebenaran dari suatu fenomena tertentu, seperti misalnya; mengapa masyarakat Papua (yang tinggal dilembah Baliem) puas hanya dengan makan ubi dan sagu bakar, akan tetapi mengapa masyarakat lainnya merasa tidak pernah puas dengan dimiliki ketika kekuasaaan dan kekayaan telah dimiliki? DARI TRADISI KE PERADABAN Langkah-langkah selanjutnya yang paling rasional dalam menghadapi tatanan dunia global, bagi kalangan mahasiswa dikampus adalah membangun kesadaran bersama dengan meningkatkan kompetensi dan skill dalam memposisikan diri supaya sejajar dengan bangsa-bangsa Barat dalam bidang ilmu pengetahuan. Karenanya budaya dan tradisi yang selama ini dilakukan dikampus untuk digeserkan kearah perubahan paradigma memahami budaya dan tradisi yang ada. Tidaklah kaku jika mahasiswa membangun dialog peradaban (Civilization) dikampus, minimal ada dua paradigma visi dialog pembangunan masyarakat berperadaban. Pertama, Perubahan eksistensi dan identitas diri, yang mampu melahirkan paradigma kehidupan sosial baru dan merdeka, bebas dari penghambaan terhadap unsur-unsur materi, melahirkan kehidupan segar dan integraliistik. Era kehidupan yang syarat dengan nilai kemanusiaan dan bervisi masa depan. Ini merupakan tonggak fundamental pertama, merupakan visi kehidupan ummat manusia kearah pembebasan diri dari kungkungan materi yang menjadi ideologinya. Visi kehidupan ini mengarahkan manusia pada ideologi yang sesungguhnya dan menjadi benteng kekuatan para pewaris peradaban. Ini merupakan asas fundamental bagi terwujudnya masyarakat berperadaban. Proses ideologisasi kedalam tubuh masyarakat secara radikal dan gradula perlu dilakukan. Kedua, Pola pembangunan struktur pengetahuan masyarakat yang secara bersamaan dilakukan dalam kerangka membangun kesadaran untuk membaca atas realitas yang terjadi. DARI TEKS KE KONTEKSTUAL Terkadang pemahaman mahasiswa atas teks-teks yang dipelajari dikampus bersifat tekstual. Karenanya perlu ada penyeimbangan pemikiran dalam memahami realitas. Kalangan mahasiswa diminta tidak hanya memahami teks saja tetapi mampu melihat perubahan dunia yang cepat dari teks-teks yang dipelajarinya itu. Karenanya pemahaman teks yang menyebar dalam berbagai literatur menjadi penyelaras dalam kondisi jaman yang sedang berubah. Paradigma mahasiswa dikampus bertumpu pada penyelarasan ideologis dengan ketajaman analisis terhadap persoalan-persoalan yang terjadi. Kalangan mahasiswa mampu membaca, mengkaji, dan berdiskusi secara logis, kritis, sistematis, dan komperhensif, serta mampu membedah persoalan dari berbagai aspek dan sudut pandang ilmu dan pemikiran yang konstruktif. Hal ini harus menjadi kultur yang melekat. Gerakan mahasiswa dalam konteks kekinian dituntut untuk bisa bergaul dalam dimensi yang lebih luas. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa diharapkan mampu memberikan jawaban atas kondisi zaman yang terus berubah. Jika tidak bisa, maka mahasiswa akan ditinggalkan oleh kemajuan zaman ini. PESAN Mahasiswa merupakan sebuah miniatur masyarakat intelektual yang memilki corak keberagaman pemikiran, gagasan dan ide-ide yang penuh dengan kreatifitas dalam rangka mewujudkan TRI DARMA PERGURUAN TINGGI Yakni; Pendidikan dan pengajaran, Penelitian, Pengabdian pada masyarakat. Setiap melakukan perubahan sosial, pasti ada hambatan dan halangan. Untuk mengatasi hal tersebut maka mahasiswa harus menggunakan trik-trik yang jitu diantaranya : 1. Mulailah dari diri sendiri. 2. kuatkan tekad/azzam untuk selalu melakukan perubahan yang lebih berkemajuan. 3. Menunjukkan Identitas Mahasiswa. 4. Memanajemen waktu dengan sebaik-baiknya. 5. Merubah Paradigma berfikir dari mental penjajah menjadi penebar rahmat. Suka · · Berhenti Mengikuti Kiriman · Bagikan · Hapus